Minggu, 22 Maret 2009

Surga Dan Neraka Kita

Seorang murid bertanya pada sang Guru “ Guru, saya ingin melihat syurga”. Sang Guru pun menyarankan si murid agar bermeditasi. Setelah beberapa hari melakukan meditasi, si murid merasa dirinya sedang berjalan-jalan di suatu tempat. Namun, tempat itu tak layak untuk disebut surga, karena, tidak seperti dicerita guru ngaji ataupun literatur agama. Tempat itu biasa-biasa saja, seperti tempat ia tinggal selama ini.
Setelah selesai melakukan meditasi, dengan kekecewaan, ia kembali bertanya kepada Sang guru. “Guru, sekarang aku ingin melihat neraka” kembali sang guru menyarankan cara yang sama seperti sebelumnya, meditasi.
Setelah sekian lama bermeditasi, si murid merasa benemukan suatu tempat yang seperti semula, dalam hatinya bertanya, “inikah neraka, tempat penuh siksa dan sakit. Kenapa tidak seperti itu”
Setelah melakukan meditasi, melihat surga dan neraka, sang murid bertanya kepada sang guru. “guru, telah kuikuti saran dan petunjukmu, telah kulihat surga dan neraka. Namun, tak kulihat tempat yang layak disebut surga atau neraka. Karena tidak ada kenikmatan yang diluar pikiran maupun siksa yang menghanguskan dasar hati”
“ anakku. Berarti surga dan neraka itu tak disediakan untukmu” jelas gurunya, “sebab, engkau akan membawa keduanya (surga/neraka) bersamamu. Jika engkau merasakan kesedihan, kemarahan, dendam, sesungguhnya neraka itu sedang menyertaimu. Akal pikiranmu seperti sebuah alunan musik, jika itu digunakan dengan suara yang parau, intonasinya akan menghasilkan suara yang parau juga. Tetapi, bila kebahagiaan, cinta kasih dan kelembutan yang kau lakoni, berarti surga ada dalam genggamanmu. Engkau menyanyikan lagu indah dan merdu”.
Memang kesenangan, kesedihan, cinta, dendam, itu semuanya tergantung kepada akal pikiran kita. Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, boleh jadi dapat merubah diri kita. Mungkin, selama ini, kebanyakan kita menganggap peristiwalah yang pasti mengubah hidup kita.
Tetapi, jika kita kembali merenungkan, ternyata tidak semua peristiwa itu mampu mempenaruhi hidup kita selama akal dan kesadaran kita masih dapat dikendalikan dengan baik. Hendaknya kita menjadi pemegang kendali (locus of control) diri dengan sangat baik. Untuk bisa menjadi locus of control, maka, kita harus bisa menerima apa yang kita miliki dengan sadar dan ikhlas. “nrimo ing pandum” kata orang tua dulu.
“Apa yang ada dibelakang dan dihadapan kitaamatlah kecil jika dibandingkan dengan apa yang ada didalam diri kita” (Oliver W Holmes).

Rabu, 18 Maret 2009

KEADILAN TUHAN


Dipagi yang cerah, Musa, sang rasul, bertemu dengan Tuhan. “Tuhan, tunjukkanlah padaku keadilan-Mu” pintanya.
“Kau tak akan sanggup dan tak akan sabar untuk melihatnya” jawab Tuhan.
“Aku akan berusaha untuk sabar, Tuhan” tegas Musa.
“Baiklah, akan kuperlihatkan, sekarang pergilah kau ke timur, nanti akan menemukan sebuah sumur, sembunyi dan perhatikan apa yang terjadi disitu.” perinta Tuhan kepada Musa.
Musa pun berjalan kearah matahari terbit. Selepas siang dilihatnya seorang lelaki berkuda jantan. Dilhatnya sedang berhenti di sebuah sumur di simpang jalan. Setelah minum dan beristirahat sebentar, sang lelaki itupun pergi dengan menaiki kudanya. Tanpa sadar dia meninggalkan sekantung uang emas. Musa ingin untuk memberi tahu lelaki itu, namun urung.
Tak lama berselang, datanglah anak lelaki belasan tahun. Diapun berhenti di sumur untuk minum dan duduk beristirahat sebentar. Setelah dirasa cukup, anak kecil itupun melanjutkan perjalanan, dan dibawanya pula sekantung uang emas sang lelaki yang tertinggal sebelumnya. Dengan marah Musa mengelus dada dan ingin menghardik anak tersebut. Namun niat itu dibatalkan.
Satu jam kemudian, datanglah seorang lelaki tua yang buta. Lelaki tua itupun berhenti di sumur dan meminum air sepuasnya. Belum selesai dia minum, datanglah lelaki berkuda yang ketinggalan uangnya tadi. Ketika dilihatnya seorang lelaki tua buta sedang minum di sumur, diapun bertanya dengan nada keras.
“Lelaki tua, mana kantung uangku yang tadi tertinggal” Tanya sang lelaki berkuda.
“aku tidak tahu, aku baru saja sampai disini” jawab lelaki tua.
“Jangan banyak alasan, serahkan kantung uangku, kau simpan dimana” hardik lelaki berkuda marah.
“Tidakkah kau lihat, mataku buta, bagaimana aku bisa melihat uangmu, apalagi menyimpannya” ujar lelaki tua.
“Apa kau kira untuk mengambil kantung uang di depanmu perlu mata, tanpa melihapun kau tahu kalau itu uang” bentak sang lelaki berkuda sambil menghunus pedangnya. Karena marah yang membakar ubunnya, sang lelaki berkuda itupun membunuh lelaki tua yang buta itu. Setelah menggeledah namun tak ditemukan uang sepersenpun. Lelaki itu pergi.
Musa yang memperhatikan kejadian itu sejak awal, marah bukan main. “ Tuhan cukup sudah, keadilan macam apakah ini, tolong jelaskan” teriak Musa.
Dalam sekejap datanglah Jibril, “aku diutus Tuhan untuk menjelaskan apa yang kau lihat”
“Musa, sudah kukatakan bahwa kau tak akan mampu menahan sabar untuk menyaksikan keadilan-Ku” kata Jibril..
“Ketahuilah Musa, sekantung uang emas itu adalah hak anak lelaki tadi. Dulu ayahnya pernah bekerja kepada lelaki berkuda itu. Namun, lelaki berkuda itu telah mendzoliminya dengan tidak membayar upahnya. Dan uang itu sama nilainya dengan upah ayah anak lelaki tadi, dia cuma mengambil haknya. Sedang orang tua buta tadi adalah mantan perampok yang membunuh ayah anak lelaki yang mengambil uang tadi. Dia terbunuh karena telah membunuh orang lain tanpa alasan. Itulah keadilan-Ku Musa.” papar Jibril.
Saudaraku ketahuilah, keadilan Tuhan berlaku dalam hidup ini, bahkan di alam akherat nanti, ketika setiap jiwa sibuk dengan pertanggung jawaban dirinya dan tak ada pembela bagi yang lain. Karena kedzoliman (ketidak adilan) yang terjadi di sekeliling kita akan mengguncang arazy Tuhan. Dan Tuhan pun sebagai dzat yang maha adil akan mengadilinya seadil-adilnya.
Nah. Kalau keadilan Tuhan seperti itu halnya, mengapa kita masih asyik dengan kedzoliman (ketidak adilan) kita. Baik yang disengaja atau tidak kita sadari. Kalau balasan dari Tuhan di dunia ini begitu dekat dan tanpa kita sadari, tentunya kita harus hati hati dalam melangkah dan berbuat, berbicara dan berprasangka.
Masih mending kalau balasan atau peringatan dar Tuhan dapat kita terima di dunia ini, selagi kita masih menarik nafas. Artinya masih ada waktu untuk bertobat dan memperbaiki diri. Bayangkan kalau balasan itu kita terima di akherat. Ketika dimensi waktu adalah nol. Tidak ada waktu untuk bertobat, minta maaf dan memperbaiki keadaan. Kita akan sengsara menanggung akibat perbuatan tidak adil kita selamanya.

TAUBAT


Jika engkau belum mempunyai ilmu
dan hanya persangkaan,
maka milikilah persangkaan yang baik tentang Tuhan.

Jika engkau baru mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu yang kering,
munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan dalam rahmat-Nya
tetap menerima mata uang palsumu.

Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan
mengenai Tuhan,
maka kurangilah
menjadi sembilan puluh sembilan saja.

Wahai pengembara…!

Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang,
dan datanglah lagi!

Karena Tuhan telah berfirman:

"Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam perut bumi,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalannya."

SANDAL


Setiap hendak memasuki rumah-Nya, masjid, kita diharuskan melepaskan apapun alas kaki, entah itu sepatu mahal, sandal kulit ataupun bakiak. Kita sedang memasuki gerbang suci yang penuh damai dan harapan. Kita hendak bercengkrama dengan Dia yang kita cintai melebihi segalanya dalam hidup ini. Ar Rahman- ar Rahim.
Pelepasan sandal adalah simbol pembebasan diri dari keterikatan duniawi (materi). Benarkah sandal adalah salah satu simbol kemewahan dunia? “ Meski baju berharga jutaan, kalau sandalnya seharga kacang goreng, gengsi kita sama dengan penggorengan, hitam dan jelek”. Tukas istri tetangga yang sedang protes ke suaminya kemarin sore. Ya Allah, demikian rendahkah simbol dunia, sehingga sandal, tempat pijakan bisa menunjukkan nilai dan harga diri seseorang. Padahal semahal berapapun sebuah sandal, tempatnya tetap ditelapak kaki. Alat menginjak tanah, ludah dan kotor.
Setiap hendak shalat di rumah-Nya, kita diharuskan meninggalkan sandal kita dipelatarannya. Melepas sandal adalah simbol pengosongan diri (takhalli), bahwa kita sudah menanggalkan berbagai atribut kebanggaan. Jabatan yang mentereng, rumah mewah, harta berlimpah, gelar yang berderet, bahkan keluarga yang kita sayangi, sementara waktu kita tinggalkan. Menjumpai-Nya seperti gelas kosong, yang dengan penuh harap untuk diisi apa saja sesuai kehendak-Nya. Karena gelas yang kosong akan bisa menerima air nikmat dan hidayah. Gelas yang penuh dengan ego dan kesombongan tak akan pernah bisa menerima masukan, bahkan muntah, entah itu ilmu, hidayah ataupun cinta kasih.
Diceritakan, pernah seorang yang alim meninggalkan sandalnya saat hendak masuk masjid. Tak lama kemudian, masuk pula orang bijak yang membungkus sandalnya dan ikut dibawa masuk. Kejadian ini mengherankan bagi seseorang yang duduk-duduk diemperan masjid, dan menanyakannya ketika kedua orang itu keluar masjid. Sang alim menjawab”Saya meninggalkan sandal karena saya ikhlas dan tawakkal” sedang si orang bijak menjawab “saya membungkus dan membawanya, karena takut timbul pikiran jahat pada orang lain saat melihat sandal ini”
Sebuah hikmah yang amat tinggi dari sebuah kejadian melepas sandal di rumah-Nya. Dengan menanggalkan atribut duniawi, kita menghadap-Nya bak seorang bayi yang polos dan telanjang, tanpa dosa dan cela, tanpa topeng dan kemunafikan. Dengan melepas sandal, Dia akan memeluk kita dengan pelukan kebahagiaan, melebihi kebahagiaan seorang bayi yang menemukan tetek ibunya disaat kehausan sedang mencekiknya.

ANGSA BERTELUR EMAS


Alkisah, seorang lelaki tua tinggal di sebuah peternakan bebek dan angsa, salah satunya seekor angsa tua yang sudah tidak produkif. Sudah tidak bertelur lagi.
Tiba-tiba suatu pagi, sang lelaki menemukan sebutir telur emas di kandang angsanya. Dengan keheranan dan takjub, diambilnya telur tersebut.
“benarkah ini telur emas, atau hanya warnanya saja yang keemasan” ujarnya takjub dan penasaran.
“akan kubawa ke kota untuk kubuktikan bahwa telur ini emas atau hanya berwarna keemasan” sang lelaki segera pergi ke kota.
Sesampainya di kota, dibawanya telur emas tadi ke tukang emas. “ini adalah emas murni, 24 karat dengan berat hampir 1 kg” ungkap tukang emas takjub.
“kalo begitu, uangkan sekalian berapa harga emas itu” pinta lelaki tua gembira.
Setelah segepok uang diterima, sang lelaki segera membelanjakan berbagai keinginan dan mimpi yang selama ini terpendam. Dibelinya baju baru yang mewah, kereta kuda dan berbagai perhiasan lainnya.
Sebulan sudah sang lelaki menikmati telur emas angsa setiap harinya. Rumahnya yang reot telah disulap menjadi istana megah dan sang angsa tua pun kini tinggal di kamar tersendiri di dalam istananya.
Suatu malam terpikir oleh lelaki tua “mengapa aku harus menunggu satu per satu telur emas setiap harinya? Mengapa tidak kubelah saja tubuh angsa, tentu di dalamnya banyak telur emas?” pikiran serakah dan ingin cepat kaya pun menggurat dalam otak sang lelaki.
Malam itu, diasahnya pisau dan dibelahnya dada angsa tua. Sayang, tidak ada telur emas sebutir pun didalam tubuh angsa itu. Celakanya, si angsa pun mati.
Hari demi hari sang lelaki hanya bisa menyesali kecerobohannya. Dia hidup dengan menggerogoti kekayaan dari telur emas si angsa dulu. Semakin lama kekayaannya semakin habis. Si lelaki tua kembali hidup miskin seperti dulu.
Sahabat, kadang kita ingin dalam hidup ini sesuatu yang serba cepat dan instant. Tak jarang kita bekerja tanpa peduli terhadap kesehatan tubuh kita, tak peduli terhadap anak dan istri kita. Semuanya karena kita mengejar karier dan usaha, walaupun pada akhirnya ingin membahagiakan keluarga kita.
Kita ibarat si lelaki tua yang membelah angsa untuk mencari telur emas. Kesehatan tubuh kita, pendidikan dan kasih sayang terhadap anak dan perhatian yang memadai buat istri adalah angsa yang kita sembelih. Kita korbankan mereka demi memenuhi ego dan mimpi kita.
Hingga suatu waktu, ketika tubuh kita renta dan sakit sakitan, anak kita semakin asing dengan diri kita dan istri yang merasa terabaikan dalam hidup ini. Kita telah kehilangan telur-telur emas itu, dan angsa-angsa itu telah mulai membatu.
Sahabat, mumpung masih ada waktu, yuk kita koreksi diri. Untuk menghasilkan telur-telur emas, kita harus memelihara dan memperhatikan angsa-angsa kita. Dan, kita tak akan bisa menghasilkan telur emas, kecuali dengan menjaga kesehatan tubuh kita dan menyayangi serta memberdayakan anak-istri kita.

BAJU YANG MENIPU


Disuatu pagi yang cerah, sepasang suami istri berjalan bergandengan tangan menaiki tangga sebuah universitas ternama. Harvard University di Texas, Amerika Serikat. Baju sederhana dengan warna yang mulai pudar oleh waktu, terlihat kontras dengan baju mahasiswa sekitarnya yang lalu lalang. Mereka disambut sekretaris universitas, seorang gadis manis dan perlente. Melihat baju sederhana yang dikenakan pasangan tersebut, sang sekretaris memperlihatkan wajah yang kurang sedap.
“Kami ingin bertemu dengan pimpinan universitas” kata sang istri dengan senyum mengembang.
“Beliau sedang sibuk, tidak bisa diganggu. Apakah ibu sudah membuat janji?” Tanya sekretaris dengan wajah penuh tanya. “Ah…ada urusan apa mereka dengan pimpinan” detak tanya berdentang di hati si sekretaris.
“Belum, tapi kami akan menunggu” jawab sang suami.
“Selama empat jam” tukas sang sekretaris, sambil berharap sepasang suami-istri membatalkan keinginannya.
Waktu merambat perlahan, detik demi detik, menit demi menit, tak terasa sudah empat jam sepasang suami istri itu menunggu. Dengan merengut sekretaris menelpon pimpinannya.
Tak lama, nampak seorang lelaki paruh baya, berkacamata tebal mendatangi suami-istri tersebut. Melihat baju sederhana dan warna pudar yang dipakai pasangan tersebut, lelaki itu memasang wajah masam.
“Saya pimpinan universitas ini. Ada apa gerangan bapak-ibu mencari saya” Tanya si pemimpin.
Dengan wajah sendu sang istri menjawab, “dulu anak kami satu-satunya, ingin sekali kuliah di tempat ini, dan dengan usaha yang keras, dia akhirnya bisa kuliah ditempat yang selalu ia impikan ini. Namun, kini dia tak bisa lagi kuliah disini, karena setahun yang lalu dia mengalami kecelakaan dan meninggal”
“Lalu apa hubungannya dengan kami” Tanya sang pemimpin.
“Sekarang genap setahun dia meninggalkan kami, kami ingin ada sesuatu yang bisa kami sumbangkan ke universitas ini untuk mengingat dia” jawab sang istri.
“Wah, kalau setiap yang meninggal harus dibuatkan tugu atau monument ditempat ini, maka, universitas ini akan menjadi komplek kuburan” tegas sang pemimpin menunjukkan ketidaksukaannya.
“Oh tidak, kami tidak ingin membangun tugu atau monument di sini. Mungkin kami bisa membuatkan gedung dengan memakai namanya” jelas sang suami datar.
“membangun gedung” sang pemimpin heran. “Untuk membangun universitas ini, kami membutuhkan dana US $ 75.000,-“ ungkap sang pemimpin, dengan harapan pasangan itu segera meninggalkan dirinya.
“Kalau Cuma segitu, kenapa tidak kita dirikan sendiri saja sebuah universitas” kata sang istri kepada suaminya. Dengan wajah bingung dan heran, sang pemimpin memandangi kepergian pasangan tersebut.
Tak lama pasangan suami istri itu pindah ke kota California, mereka membangun sebuah universitas, Stanford University. Sebuah universitas papan atas ternama di amrik, bahkan di dunia.
Sahabat, dalam keseharian, kadang kita terpesona oleh baju orang lain. Mahal, mewah, modis atau bermerek. Sering kita menilai seseorang dari baju yang mereka pakai. Versace, dior, prada, si martin dan seabrek merk baju lainnya sering membutakan mata dan pikiran sehat kita. Sehingga, terhadap mereka yang sederhana, kita sering berburuk sangka terlebih dahulu.
Apalah arti sebuah baju, padahal itu cuma bungkus. Yang lebih utama adalah pribadi dibalik baju. Kadang mereka yang berbaju sederhana adalah pribadi-pribadi berhati emas.

MALAIKAT-MALAIKAT CILIK