Minggu, 30 Mei 2010

BOBOT SEBUAH DO'A



Maria, seorang ibu 7 anak, dengan sedikit ragu memasuki sebuah minimarket. Dengan langkah berat penuh ragu, ia mendekati kasir sekaligus pemilik toko, James.
“Pak James, bolehkah saya mengutang barang belanjaan, saya akan membayarnya bila sudah punya uang nanti” kata Maria lirih penuh harap.
“Tidak bisa, saya bisa rugi nanti, lalu apakah kau punya jaminan utangmu” jawab James.
“Tolonglah pak. Suami saya sudah satu minggu sakit, sedang anak saya tujuh orang. Tolong pinjami saya, saya janji akan membayarnya bila sudah punya uang” iba Maria.
“Kau tidak punya jaminan, saya tidak bisa meminjamimu” tegas James.
Pembicaraan itu tanpa mereka sadari diperhatikan oleh seorang pelanggan toko. “Pak James, saya akan membayar belanjaan ibu itu” ungkap pelanggan baik hati itu.
“Saya akan berikan gratis semua barang yang dia ambil” sergah James malu “nah, sekarang letakkan daftar belanjamu di timbangan”
Dengan hampir putus asa dan tertunduk, maria meletakkan selembar kertas daftar belanja ditimbangan. Tiba-tiba jarum jam timbangan mturun kebawah, sang pemilik toko dan pelanggan terbelalak heran. Maria segara mengambil barang yang dibutuhkan dan meletakkan pada sisi timbangan yang lain, jarum timbangan tak juga beranjak. Sampai akhirnya Maria selesai mengambil belanjaanya dan mengucapkan terimakasih. Pelanggan baek hati itupun memberikan selembar $50.
Diam-diam, si pemilik toko mengambil lembar belanjaan maria, disana tertulis sebuah do’a “Tuhan, Engkau tahu apa yang aku butuhkan, semuanya kuserahkan ke tangan-Mu”. James memeriksa timbangannya, dia menyadari, ternyata timbangannya rusak. Ternyata, hanya Tuhan yang tahu bobot sebuah do’a.
Saudaraku, mungkin karena kita lebih suka mendahulukan nalar, logika dan hitungan matematis. Kadang kita abai terhadap doa, bahkan meremehkan, “ doa hanya buat mereka yang malas, miskin dan putus asa”. Tapi, terkadang ketika semua pintu udah tertutup, masalah semakin menghimpit, ancaman semakin dekat, dan putus asa semakin membuncah, kita mengharap mukjizat, keajaiban dan pertolongan dari Dia yang tak terlihat, Dia yang selama ini kita abaikan. Emang udah sifat dasar manusia, lupa disaat senang, mengharap disaat terhimpit.
Jadi, sehebat apapun masalah, sedekat apapun ancaman dan sekecil apapun kekuatan kita. Sadarlah dan yakinlah, bahwa kita masih punya segemgam kekuatan Tuhan, segemgam doa. Dan, hanya Tuhan yang tahu bobot sebuah do’a.

Kamis, 20 Mei 2010

BATMAN VS MBAH GENDENG

Huh, siyal, masa’ bocor lagi sih”, ujar Batman gemas sambil menendang pintu BatMobile-nya perlahan. Meskipun kesal, ia masih cukup sadar untuk tidak melampiaskannya kepada kendaraan tercintanya, yang cicilannya belum lunas itu. Dengan susah payah, ia mendorong mobilnya ke pinggir, ke sebuah tambal ban yang kebetulan berada tidak jauh dari situ.

“Mbah Gendeng – Nambal Ban Sejak 1911”

Begitu tulisan yang tertera di atas “bengkel” kecil yang didirikan seadanya di bawah sebuah pohon beringin besar.

“Bannya bocor ya, nak?”, tanya seorang kakek tua yang tiba-tiba muncul dari balik pohon.

“Iya, mbah”, jawab Batman lesu, “sudah kedua kalinya nih. Padahal baru sekitar 5km lalu bocor dan ditambal.”

“Hmmm…”, mbah Gendeng mengangguk-anggukan kepalanya dan mulai mempersiapkan peralatannya. Bak air sabun untuk memeriksa bagian ban yang bocor, dongkrak, pompa angin, dan sebagainya. “Silahkan duduk dulu aja di kursi kayu itu, nak. Biar mbah kerjakan dulu bannya.”

45 menit berlalu, Batman mulai gak sabar. Maklum, ia lagi semangat-semangatnya untuk bangkit kembali dari keterpurukannya dan ingin segera sampai ke WTC untuk membuka gerai HP. Ditambah lagi, seekor kura-kura berseragam “Bukan Express” yang tadi disalipnya kini sudah berjalan melewati tempat ia duduk. “Masa’ Batman kalah cepet ama kura-kura”, pikir Batman dalam hati. Penasaran, ia mendekati Mbah Gendeng dan mengintip kerjanya.

“Pantesan aja lama!”, sergah Batman kasar. “Lha wong kerjanya lambat banget gini! Apa gak bisa lebih cepet lagi, mbah?!”

Mbah Gendeng meletakkan ban dalam BatMobile yang sedang ia pegang dan menoleh ke arah Batman. Tatapannya yang tajam membuat Batman secara tidak sadar mundur selangkah ke belakang. Tanpa disangka, dengan tidak kalah kerasnya, Mbah Gendeng balik bertanya, “Memangnya kamu pikir pekerjaan ini tidak penting sehingga harus dikerjakan dengan terburu-buru?”

“Memang begitu, kan? Cuman nambal ban ini, apa pentingnya? Jauh lebih penting pekerjaanku yang ke sana kemari buat nyelamatin dunia dari orang jahat! Mbah tahu kan kalo aku ini Batman?!”

“Iye, terus so what gitu loh, mau situ Superman kek, Batman kek, Barack Obama kek, SBY kek, tetep aja, jangan pernah ngeremehin pekerjaan saya!”

Batman sudah akan membuka mulutnya lagi untuk menjawab, namun kakek tua itu tidak mau kalah cepat dan melanjutkan kata-katanya.

“Dengarkan baik-baik, anak muda. Coba pikir. Seandainya tadi kamu dalam perjalanan untuk menyelamatkan ribuan orang dan banmu bocor, apa bukan berarti yang saya kerjakan ini tidak sama pentingnya dengan pekerjaanmu? Dengan memperbaiki ban bocormu dengan baik dan teliti, secara tidak langsung saya suda membantu kamu menyelamatkan mereka — ribuan orang itu.”

“Tidak usah muluk-muluk. Setiap ban bocor yang saya perbaiki pasti berhasil membawa pengemudinya tiba dengan selamat sampai di rumah. Coba bayangkan apabila saya melakukannya dengan asal-asalan. Bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bukan?”

“Lihat ban dalammu ini”, Mbah Gendeng menyodorkan dua buah ban dalam BatMobile yang sedang ia kerjakan. “Perhatikan ini, bekas tambalan yang dilakukan oleh penambal ban sebelumnya. Kasar dan kurang kuat rekatannya. Itu sebabnya tadi ban mobilmu bocor lagi. Masih untung tidak terjadi apa-apa. Dan ini, yang ada di kanan, adalah hasil tambalan ban yang aku lakukan. Bandingkan!”

Batman tercenung. Ia memperhatikan ban dalam pada bagian yang ditunjukkan oleh Mbah Gendeng dan ternyata memang benar, pekerjaannya kurang baik. Bahkan jauh dibandingkan hasil pekerjaan Mbah Gendeng. Padahal tadi ia cukup senang dan memberi tips lebih kepada penambal ban sebelumnya karena kerjanya hanya butuh waktu 5 menit saja.

Dengan menunduk, Batman mohon maaf kepada Mbah Gendeng dan beringsut kembali ke kursi kayu untuk menunggu. Di satu sisi, ia malu terhadap apa yang telah ia lakukan, namun di sisi lain, ia gembira karena mendapat pelajaran baru tentang hidup dan juga tentang bisnis.

“Aku pasti tidak akan kalah oleh Peter Parker”, ujar Batman dalam hati sembari tersenyum.

TEMPAYAN RETAK


Seorang penjual air memiliki dua tempayan yang dipikulnya di bahunya. Dia menjual kerumah-rumah di kampung. Tetapi dari dua tempayan yang ia miliki, salah satunya retak. Sehingga sang penjual air tidak bisa menjual air dua tempayan penuh, melainkan satu separuh.
Mengetahu kondisinya yang retak, sang tempayan merasa kecewa pada dirinya, ia pun berkata pada si penjual “ maafkan aku, aku tidak bisa memberimu air satu tempayan penuh, karena kondisiku yang retak. Aku mengecewakanmu”
“Ooo tidak, tidak apa-apa, bukankah dengan adanya dirimu aku bisa membawa dua tempayan air” jawab sipenjual air.
“tapi aku hanya bisa memberimu separuh, berarti uang yang kau terima lebih sedikit, ahhh...andai aku tempayan yang bagus, tidak retak “ keluh si tempayan retak.
“baiklah, besok kalau kita mengambil air ke sumur, perhatikanlah jalan yang kau lalui” jawab penjual air.
Keesokannya, seperti biasa sipenjual air menuruni jalan setapak ke sebuah sumur sambil memikul sepasang tempayan yang retak salah satunya. Selama di jalan, sang tempayan retak memperhatikan jalan yang dilalui. Dia menemui, sisi jalan yang sebelah kiri, gersang dan tandus. Sedang sisi jalan yang sebelah kanan, hijau, penuh dengan bunga aneka warna dan semerbak harum.
Saat rehat disiang hari, si penjual air bertanya kepada tempayan retak “apa yang kau dapati dari jalan yang kita lalui tadi”
“ ya, sisi jalan yang gersang, sedangkan sisi yang lain penuh bunga warna warni” jawab tempayan retak.
“Ya, selama ini, air yang tumpah dari retakanmu telah menyirami sisi jalan sehingga menjadi subur. Aku sengaja menanami dengan berbagai aneka bunga. Saat bunga itu mekar, kupetik dan kujadikan hadiah kepada setiap pelanggan kita, sehingga bisa menghiasi dan menambah keharuman rumahnya. Itulah sebabnya pelanggan kita amat senang dan semakin banyak” urai si penjual air.
Tempayan retak terdiam merenungi uraian si penjual air. Dia sadar, walaupun dia retak, cacat dan tidak bagus, tetapi ia bisa memberi manfaat kepada kehidupan.
Saudaraku, kita semua adalah tempayan retak. Tidak ada yang sempurna. Pastilah ada cacat, kekurangan dan kelemahan dalam diri kita. Tapi, dalam kelemahan disitu ada kekuatan kita. Dari kelemahan yang kita miliki, asal ikhlas dan mau berbuat, kita bisa menebar kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Bukankah adanya si kaya karena ada simiskin, bukankah kelancaran mobil dan kereta api di jalan ahmad yani, karena jasa penjaga palang pintu kereta juga. Ada hikmah dan kebaikan di setiap lipatan kehidupan ini.
Bahkan, seorang tokoh mafia kejahatan mengatakan, “teman dekat burung pemakan bangkai adalah bangkai seekor kuda” artinya sejelek apapun seseorang, pasti bisa memberi manfaat bagi yang lain.
Saya teringat cerita saat Yesus (Isa) berjalan bersama sahabat-sahabatnya. Dijalan mereka menjumpai bangkai anjing yang membusuk “alangkah busuk dan mejijikkan bangkai anjing itu” kata mereka, tapi Yesus menimpali “lihatlah, alangkah putih giginya”
Bahkan Rasulullah yang mengharamkan bangkai, masih memperbolehkan memanfaatkan kulit untuk disamak dan tulangnya untuk keperluan yang lain. Ada kebikan dan hikmah dalam setiap ciptaan Tuhan. Apapun bentuk, rupa dan manfaatnya. Sebab kehadiran mereka menunjukkan kebesaran Tuhan. Subhanallah, maha suci Tuhan yang maha sempurna, tiada yang sempurna kecuali dia, karena kita adalah tempayan yang retak.

Minggu, 09 Mei 2010

SANG JAGUAR MERAH


Nguuuunnggg... wwuuuusssss.....wuuusssss.....
Derung mobil jaguar merah yang masih baru melaju kencang di sebuah jalan kecil. Si pengendara, seorang penusaha muda yang sukses, seakan tak peduli dengan kondisi sekitar yang banyak mobil parkir, orang lalu lalang dan anak kecil. Sang pengusaha muda ingin menunjukkan kesuksesannya kepada setiap mata yang kagum melihat bagus dan kencang si jaguar merah.
Bukk..... ciiiiittttt...!
Tiba-tiba sang jaguar berhenti mendadak, sang pengendara, pemuda parlente, turun dengan tangan terkepal, dahi berkerut dan sorot mata yang memerah. Dilihatnya ada goresan kecil dipintu mobil akibat timpukan sebuah batu. Dengan marah yang menggumpal di dada, sang pengusaha sukses menhampiri seorang anak kecil berumur 7 tahun. Dipegang dengan kencang tangan sianak, tamparan pun siap melayang.
“maaf pak, maafkan saya” hiba si anak.
“mengapa kau lempar batu jaguarku, lihat akibatnya” sergah pengusaha.
“ maaf... saya benar-benar minta maaf. Saya tidak tahu akan begini jadinya. Saya melempar batu karena tidak ada yang mau berhenti. Saya butuh pertolongan menganggkat kakak saya” jelas si anak.
Dilihatnya seorang anak berumur 10 tahunan tegeletak di pinggir jalan, di dekatnya teronggok sebuah kursi roda usang. Si anak itu meringis kesakitan. Dada si pengusaha muda terkesiap. Nanar matanya memandang apa yang terjadi didepannya.
“kakak saya lumpuh, tadi dia terjatuh dari kursi rodanya, sedangkan saya tak kuat mengangkatnya. Saya sudah minta tolong beberapa pengendara yang lewat, tapi mereka tak mau berhenti. Makanya saya melempar batu dengan harapan ada yang mau berhenti dan menolong kakak saya”
Dengan diam sang pengusaha menolong menaikkan anak lumpuh itu. Mereka pun segera berlalau menyusuri jalanan berbatu berdebu. Sang pengusaha hanya diam, bimbang dan serba salah. Sekilas dilihatnya goresan di pintu merah jaguar. “ahh, biarlah jadi kenangan, tak akan kuhapus goresan itu”
Semenjak itu, kemanapun jagur merah pergi, goresan di pintu masih terlihat jelas. Setiap memandang goresan itu, sang pengusaha sukses selalu tercenung. Goresan di pintu itu telah menggores hatinya.
Saudaraku. Kadang kesuksesan yang kita raih, karier yang melangit dan harta berlimpah membuat kita berlari kencang, ngebut tanpa peduli sekeliling kita. Kita jadi abai dengan mereka yang terlantar, kemiskinan yang menganga dan tangis yang menyembul di sela rusuk yang kurus.
Terkadang dalam agama pun kita berlari kencang, shalat sepenuh malam, haji dan umroh setiap tahun bahkan itikaf setiap akhir ramadhan. Kita ngebut bak di jalan tol untuk mengejar sorga. Keasyikan itu membuat kita abai terhadap sekeliling kita. Tetangga yang miskin, saudara yang kekurangan bahkan terhadap mereka yang butuh pertolongan kita seakan tak peduli. Kita terlalu sibuk dan asyik dengan dunia kita, dengan aktifitas kita dan ambisi pribadi kita. Bukankah sejelek-jelek orang adalah mereka yang tidur kekenyangan sedang tetangganya kelaparan.
Sampai suatu saat, sebuah batu menimpuk kita untuk mengingatkan kita agar berhenti dan menengok sejenak kesekeliling kita. Tuhan menegur kita dengan berbagai bahasa dan cara. Agar kita lebih peduli kepada sesama, menolong mereka yang kesusahan dan berempati terhadap mereka yang terlantar.
Bukankah setiap shalat selalu diawali dengan takbir, membesar Dia, dan diakhiri dengan salam sambil menengok kekanan dan kekiri. Tuhan seakan memerintahkan kita agar peduli kepada sesama di kanan kiri kita, tidak hanya melulu dalam dunianya. Tuhan telah melihat bahwa kau udah ibadah dan memenuhi kewajiban padaNya, tapi mbok ya dilihat juga tetangga kanan-kiri, sudara, sanak family, bahkan sesama manusia yang butuh pertolongan. Bukankah shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Apakah bukan sebuah kekejian dan kemungkaran pabila kita seenaknya ngebut tanpa menghiraukan mereka di sekitar kita. “Khorun naas, amfa’ahum linnas” sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.
Yuk, kita rehat sejenak, meminggirkan kendaraan dan melihat jejak kebelakang. Apakah kita sang pengendara jaguar merah itu, atau emang sudah tidak ada kepedulian dihati kita, hati yang kering dan mati, hati yang keras sekeras batu hitam, hati yang tak pernah tersirami hujan hidayah dan air mata cinta. Atau, mungkin kita sudah tak memiliki hati, kalau itu yang terjadi, berarti kita harus berdoa minta hati padaNya.

Selasa, 04 Mei 2010

bunga

TAK KUBIARKAN BIDADARIKU MENJADI SETAN

Seseorang meletakkan jabatannya. Jabatannya, sesungguhnya, tak besar: sekadar ketua pada lembaga pendidikan. Namun, keikhlasannya untuk tak menjadi apa-apa, menjadi bermakna justru di tengah tren mengejar jabatan yang akan memuncak saat ini.
Siapa gerangan seseorang yang enggan memiliki jabatan tersebut?
Ia, perempuan modern yang keluar rumah untuk bekerja. Memiliki pendidikan tinggi melebihi S1, ia pun bercitarasa kosmopolitan: setiap pekan berbelanja ke mal, boutique dan traveling.
Mengapa engkau menampik jabatan, ketika orang-orang gemar menggunakan telunjuk, untuk memerintah?
''Sejatinya, saya seorang ibu,'' tukasnya, lirih. Kalaupun bersekolah tinggi bukan untuk menjadi tangga mencapai kedudukan tinggi. Tapi, selain memudahkan jalan ke surga (lihat hadis yang diriwayatkan Muslim), saya menimba ilmu pengetahuan untuk dapat mendidik anak-anakku dan anak-anak keluarga lain yang dititipkan padaku. Mendidik bagiku telah menjadi ibadah mulia.
Tapi sebagian sahabat dan seniornya tak dapat menerima alasan tersebut. Mereka, seperti lazimnya penganut paham feminisme, menilai jabatan merupakan pintu peluang, untuk persamaan hak. Persamaan hak berarti apapun yang dilakukan pria mesti layak juga dilakukan perempuan.
Bila kaum pria dapat menghabiskan waktu di luar rumah untuk mendaki karier, mengapa pula perempuan mesti dibelenggu urusan keluarga?
Mengasuh anak sendirian, bagi ibu feminis, laiknya rembulan terbit di siang hari. Ini lantaran anak pun menjadi bahagian dari 'tuntutan persamaan hak': anak hadir akibat konsekuensi hubungan intim pasangan. Dengan demikian, pasangan (baca: suami) pun memiliki kewajiban hak yang sama, jangan hanya membebankan pengasuhan anak pada kaum perempuan (istri). Dengan pola pikir demikian, bagi kaum feminis, tak lazim alasan mengasuh anak menjadi penolakan penugasan.
Menghadapi sergahan demikian, seseorang dalam kisah ini, pulang dengan berurai air mata. Di puncak malam, ia menatapi kedua bocah perempuan yang terlelap. Wajah keduanya memancarkan keteduhan. Di saat terlelap, anak senakal apapun, menjelma menjadi bidadari. Sang ibu yang menyaksikannya tersentuh:
akankah karena pendidikan tinggi sekaligus demi karier bersinar, seorang ibu rela mengganti keteduhan wajah bidadarinya, menjadi setan berkeliaran di jalanan?
Bukankah makna kesejatian ibu ialah untuk menghindarkan anggota keluarga menjadi setan-setan berkeliaran? Kendati di berbagai ayat pada Alquran memberikan semangat persamaan antar pria dan perempuan (lihat QS 4:124; 40:40; 16:97), tak berarti persamaan itu dapat diterjemahkan dengan dangkal seperti pola pemikir kaum feminis.
Allah, tempat segala kesempurnaan bergantung, justeru membedakan ketika memberi persamaan. Perbedaan itu disesuaikan dengan kodrat dan tabiat mahluk-Nya. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...(QS 4:34; lihat juga QS 2:228).
Melalui ayat tersebut, jika dikaitkan dengan pembagian kerja, sesungguhnya Allah memberikan spesifikasi --- bukan sekadar asal menuntut persamaan hak --- yang begitu menawan. Dengan ciri fisik berbeda dengan perempuan, Allah menjadikan kaum pria sebagai pelindung dan penanggungjawab dalam rumah tangga. Perempuan mengikuti kodratnya yang lembut menjadi pengasuh. ...Ibunya mengandungnya dengan susah payah...Mengandungnya sampai menyapihnya... (QS 46:15)
Pengasuhan memang dapat mengalami revitalisasi sesuai lingkungan kekinian. Pengasuhan dapat diterjemahkan sebagai bidan, dokter, guru atau dosen maupun profesi yang sifatnya menawarkan pelayanan. Tapi, demikian seseorang tadi bergumam, tak berarti pengasuhan untuk anak menjadi urutan sekian. Pengasuhan anak justru menempati urutan awal. Ia mengandaikan, bagaimana hendak mengurus pekarangan rumah tetangga yang kotor ketika pekarangan sendiri berantakan.
Tak sekadar pengasuhan, bahkan, keterkaitan ibu dan anak hingga ke masalah genetis. Dr Ben CJ Hammel, pakar genetika di Universitas Pusat Medis Nijmegen, misalkan, melalui risetnya menyebutkan seorang ibu melalui perilaku jelek yang diwariskan pada keturunan, dapat menciptakan 'neraka' bagi kehidupan anaknya.
Ben membuktikan melalui teori genetik dan nongenetik. Faktor nongenetik terjadi akibat maternal affection pada saat kehamilan: seorang ibu pemabuk menyebabkan alkohol yang diminumnya merusak perkembangan otak bayi sehingga melahirkan anak yang mental terkebelakang.
Begitupun, melalui teori kromosom, Ben mengilmiahkan pesan 'surga di bawah kaki ibu.' Manusia, demikian Ben menjelaskan, memiliki kromosom jenis XX dan XY. Perempuan (ibu) menyumbangkan kromosom XX dan pria (bapak) XY pada proses pembuahan. Tiap kromosom mengandung gen pembawa sifat spesifik individu yaitu kromosom X merupakan gen kecerdasan. Dengan demikian, kecerdasan seorang anak ditentukan gen (kromosom X) yang diwariskan ibunya.
Kita agaknya merasa percaya dengan teori Ben yang ilmiah. Namun, jauh sebelum Ben berteori, Rasulllah SAW telah meriwayatkan keutamaan seorang ibu bagi anak dan keluarganya. Yaitu ketika seorang sahabat menanyakan siapa yang paling berhak memperoleh pelayanannya, Rasulullah menjawab, ''ibumu...ibumu...ibumu, kemudian ayahmu...'' (HR Mutaffak 'Alaih).
Bila demikian, mengapa mengasuh anak, menjadi sesuatu yang diremehkan?
Seseorang yang berlinang air mata tadi, sulit memahami terhadap prinsip sebahagian temannya: serahkan pengasuhan pada baby sitter agar leluasa bekerja.
Apa jadinya tatanan masyarakat jika setiap ibu enggan mengasuh anak demi mengejar karier di luar rumah? Kita sebagai orangtua seketika terkesiap menyaksikan bila narkoba telah dijajakan seperti permen di pekarangan sekolah SD. Kita menjadi panik dan menyesalkan anak yang tumbuhkembang liar tanpa memahami hulu keliaran itu berasal dari periuk ambisi pribadi.
Maka seorang ibu, dengan air mata bersisa di pipi, tersenyum teduh. Di puncak malam yang sunyi, ia telah menemukan keyakinan: Anak adalah amanah Allah. Jabatan hanya amanah manusia. Sayangnya, banyak ibu melupakan amanah mulia, ketika mendapatkan amanah yang lebih rendah.
Seseorang dalam kisah ini, tersenyum teduh, ketika menatap wajah kedua bidadarinya yang terlelap. Tak kubiarkan engkau, bidadariku, menjadi setan bergentayangan, gumamnya di tengah malam yang hening.

Senin, 03 Mei 2010

BUNGA BUAT IBU

“MINGGIR…!” bentak seorang ibu marah terhadap anaknya yang diam diam berdiri dibelakang. Padahal si ibu sedang menggoreng ikan, hampir membentur sang anak. Dengan wajah sendu dan berurai air mata, si anak pergi ke kamar tidurnya.
Saat istirahat siang, sang ibu berbaring di tempat tidurnya. Tuhan menyapa hati si ibu dengan lembut,
“Terhadap orang yang tidak kau kenal, kau bias berkata sopan, lembut dan hormat. Tapi, mengapa terhadap buah hatimu, kau berkata kasar. Cobalah kau lihat lantai dapurmu, disana terdapat bebrapa tangkai bunga. Dia ingin memberimu kejutan dengan bunganya, dia mendekatimu diam-diam agar tidak mengurangi kejutannya padamu”
Dengan sesal yang menggantung didada, sang ibu melangkah ke dapur, dilihatnya beberapa tangkai mawar. Dipungutnya bunga itu seraya melangkah menuju kamar anaknya. Perlahan dibuka daun pintu, hati-hati dan perlahan, tanpa derit tanpa jerit. Dia tak ingin mengganggu kepulasan buah hatinya menikmati alam mimpi.
Ahh, siapa yang takkan iri melihat kekudusan anak ketika berenang di alam mimpi. Dengan ragu dan penuh cinta, pelan-pelan dibangunkan buah hatinya.
“anakku, ibu minta maaf, tadi telah berkata kasar padamu, tak seharusnya ibu membentakmu tadi di dapur” kata sang ibu dengan suara yang halus, sehalus deira angin dipucuk bamboo.
“Tak apa ibu, saya yang seharusnya mita maaf” jawab si anak dengan mata berbinar.
“Lalu, apakah bunga ini masih untuk ibu” Tanya si ibu.
“Oh iya… aku memetik bunga itu karena aku tahu ibu sangat menyukainya. Apalagi yang berwarna putih, cantik seperti ibu” jawab sang anak bahagia.
Dengan haru dan berurai air mata dipeluknya sang anak penuh cinta. “Terima kasih anakku, ibu takkan mengulanginya, ibu mencintaimu”
sahabat, terkadang karena rutinitas dan kejenuhan, membuat sesuatu yang indah menjadi hambar. senyum anak kita, celoteh, teriak canda bahkan tangisan mereka adalah nyanyian terindah bagi orang tua.
anak-anak adalah bagian dari jiwa kita, mereka adalah amanat Tuhan dan cahaya syurga yang diturunkan di tengah rumah kita.cahaya yang menyejukkan hati ketika dilihat, menenangkan jiwa ketika dipandang.
seandaiany suatu ketika, kita meninggal. pasangan kita bisa saja mencari ganti istri/suami. kantor tempat kita bekerja dalam waktu seminggu mencari ganti posisi kita. tapi, mereka anak-anak kita akan merasa kehilangan dalam sisa hidupnya.

KAYA YANG MISKIN

Minggu pagi yang cerah, seorang pengusaha sukses mengajak anak lelaki bungsunya bermobil ke pinggiran kota, memasuki desa desa kecil, pertanian dan padang rumput peternakan. Sang pengusaha ingin menunjukkan bagaimana kehidupan rakyat miskin di desa.
Setelah puas, mereka pun pulang. Di tengah perjalanan, sang pengusaha ingin mengetahui kesan anaknya tentang apa yang dilihatnya tadi.
“Bagaimana menurutmu kehidupan mereka anakku” Tanya sang pengusaha.
“Luar biasa, saya mendapati pelajaran yang berharga” jawab sang anak bungsu.
“Apa itu nak” sang ayah penasaran.
“ Ayah, kita punya kolam renang 8 x 15 meter dirumah, tapi, mereka memiliki sungai kecil di depan rumah yang mengalir jernih dan menyegarkan.
Kita punya taman bunga sempit di depan rumah, tapi, mereka punya taman yang luas hingga menyentuh kaki langit dengan aneka bunga dan kupu.
Kita punya lampu taman yang mahal dari luar negeri, tapi, mereka menggunakan bintang untuk menyinari taman mereka”
Halaman rumah kita seluas sekian meter dibatasi pagar tinggi, tapi, halaman mereka begitu luas berpagar horizon.
Kita biasa membeli makanan jadi kapanpun, tapi mereka mengolah makanan sendiri.
Kita punya satpam dan anjing penjaga dirumah, tapi, mereka saling menjaga sesamanya.
Kita punya tiga mobil mewah dirumah, tapi, mereka selalu gonta ganti mobil setiap pergi.
Malam-malam kita selalu gelisah takut kemalingan, tapi, malam-malam mereka begitu indah dengan mimpi-mimpi tanpa takut kehilangan.
Sekarang aku sadar ayah, betapa miskinnya kita dan betapa kayanya mereka”
Sang pengusaha sukses itupun terdiam tanpa bias berkata apapun.

Saudaraku, dalam hidup, kadang kita dibuat repot dan cemburu dengan apa yang dimiliki orang lain, bukan milik kita. Rumah kita luas tapi Cuma satu kursi yang kita nikmati. Kamar kita banyak tapi Cuma satu kamar yang kita tiduri, rumah kita banyak, Cuma satu yang ditempati. Mobilpun banyak tapi tidak bisa sekaligus kita tumpangi, Cuma satu. Selebihnya pembantu dan orang lain yang menikmati.
Hidup beorientasi memiliki bukan menikmati. Serakah dan pelit.
Yuk kita rubah modus hidup kita, dari modus memiliki menjadi modus menikmati dan memberi.

Kamis, 29 April 2010

BAJU TERINDAH

“Dimanakah Abu Bakar, bebearapa hari ini aku tidak melihatnya” Tanya Rasulullah penuh rindu. Sahabat sejati yang selalu membenarkan perkataan nabi, sehingga digelari Ash Shidiq. Sahabat terdekat yang selalu membelanya, bahkan saat pedang-pedang Quraish dan tubuh Nabi hanya terpisah tembok setebal jaring laba-laba di goa tsur, rapuh dan mudah robek.
Seorang sahabat memberi tahu Rasulullah, “Sekarang Abu Bakar sangatlah miskin. Dirumahnya hanya tinggal sehelai baju yang dipakai bergantian dengan istri dan anak-anaknya untuk shalat, walau hanya sekedar menutup aurat”
Teringat Rasulullah kejadian beberapa hari sebelumnya. Saat dia menemui dua orang sahabatnya yang dermawan, Umar dan Abu Bakar. Rasul mengatakan perlu dana untuk biaya perang melawan orang kafir. Umar memberikan separuh dari kekayaannya kepada Nabi, “separuhnya aku gunakan untuk biaya hidup istri dan anak-anak”.
Tak lama berselang datanglah Abu Bakar, ditaruhnya sekarung emas di kaki Rasul, “Aku serahkan seluruh hartaku padamu ya Rasul”. Sejenak rasul memandang umar kemudian berpaling pada Abu Bakar.
“tidakkah kau sisakan buat anak istrimu separuhnya” Tanya Nabi.
“Anak istriku dibawah pemeliharaan Allah dan Rasulnya” jawab Abu mantap.
Teringat kejadian itu, Rasulullah meneteskan air mata, teringat ia kepada putrid tercinta Fatimah. Rasul bergegas menuju rumah Fatimah, kebetulan Fatimah memiliki sehelai kain sisa, dan diserahkan kepada Nabi. Nabi menyuruh seseorang untuk mengantarkan kain sisa itu kerumah Abu Bakar.
Abu Bakar melilitkan kain itu ketubuhnya, namunkekecilan, masih belum menutupi sebagaian auratnya. Maka, Abu Bakar mengambil daun kurma dan menganyamnya serta menyambungnya dengan kain sisa itu, sehingga bias menutup seluruh auratnya. Bergegas Abu Bakar menuju masjid berselimut daun kurma yang memancarkan kerinduan kepada Rasulullah.
Dimasjid Rasulullah didatangi oleh Jibril, beliau terheran-heran melhat baju jibril yang aneh. “Mengapa kau memakai baju seaneh ini Jibril”
“Hari ini seluruh malaikat di langit memakai baju seperti ini ya Rasul, untuk menghormati Abu Bakar yang memakai baju seperti ini, sekarang dia sedang dalam perjalanan menuju masjid. Tolong sampaikan padanya, bahwa Allah ridho dan menyukainya” jawab Jibril.
Saudaraku, mungkin kita sering melihat berbagai peragaan busana oleh para model dan desainer ternama di catwalk. Atau mungkin beberapa diantaranya berjejer di dalam lemari kita. Tapi, bagiku, inilah baju terindah yang pernah kudengar. Baju yang tidak tertutupi topeng sombong, pamer, atau takabur. Baju yang sederhana dan memcarkan keikhlasan. Ingin aku menyerap sinar yang memancar dari rumbai rumbai daun kurma Abu Bakar, sinar keimanan, keikhlasan dan kesederhanaan.

Rabu, 28 April 2010

ADA CINTA DI BOLA MATANYA

Cinta, suatu ketika, menjadi hal yang klise bagi kita. Cinta, suatu waktu tak mampu mengantarkan perspektif baru, dan menghapus goresan kisah lama.
Tapi, cinta seorang anak adalah keindahan yang penuh inspirasi. Kasih yang lahir dari jernihnya cahaya hati, kasih yang berkohesi dengan irama alam sedemikian tulusnya, kasih yang menyapa dengan bahasa bunga dan rerumputan apa adanya.
Lewat ruang matanya yang masih terpelihara dari residu-residu kilah manusia, kehidupan ini sebagai ruang olah diri yang nyaris paripurna, tidak ada yang sia-sia, tak kenal putus asa. Memandang dunia dengan mata batin anak, membuat kita meniti kehidupan dengan ‘kepolosan’ kemanusiaan yang mencerahkan. Dimana kini dunia sudah sarat dengan pakaian dan lipstick kemunafikan penuh kepentingan.
Bening cinta anak kita adalah sebening kasih di bola matanya, yang menghadirkan kesegaran telaga kautsar. Ingin aku berenang dalam telaga cintanya yang dalam, indah dan membahagiakan. Bening cinta anak kita adalah sebening embun pagi yang tak hanya menyegarkan, tapi juga menumbuhkan semangat dan kehidupan baru dihati kita.
Anakku, engkaulah dian dan embun pagi dalam hidupku. Kaulah permata yang tersimpan rapi dalam hatiku. Tuk dua malaikat kecilku, Eriq dan Oval, Ibu sayang kamu nak.

Kamis, 22 April 2010

SEDEKAH YG TERLUPAKAN

Suatu hari, seorang tokoh sufi, Ibrahim bin Adham, berjalan-jalan di pasar. Dia tidak ingin berbelanja sesuatu, Cuma ingin melihat-lihat keramaian pasar. Disaat sedang asyik menikmati riuh rendahnya pasar, tiba-tiba, ada yang mendesak dari dalam perutnya untuk mencari wc. Dengan tergesa-gesa Ibrahim bin Adham menuju wc umum, dan dilihatnya setiap orang yang hendak masuk wc harus membayar dulu ke penjaganya.

Saat Ibrahim hendak masuk wc tanpa membayar terlebih dahulu, ia dicegat oleh penjaga. “Saudaraku, kau harus bayar dulu, baru bisa masuk wc” cegat sang penjaga. “Maaf, saudaraku, aku tidak hendak belanja, makanya aku tidak membawa uang sepeserpun, tolonglah, aku sudah tidak tahan nih” jawab Ibrahim memelas. “Maaf saudaraku aku tidak bisa melayanimu” tegas sang penjaga dengan memasang wajah sangar.

“Saudara, kalo hanya untuk masuk rumah jin (wc) saja aku harus membayar 1000, lalu berapa yang harus kubayar saat hendak masuk rumah Allah (masjid)” tukas Ibrahim bin Adham seraya ngeloyor pergi.

Serupa dengan cerita diatas, alkisah seorang preman yang baru merampok bank, berjalan terhuyung-huyung di depan sebuah diskotik, setengah teler rupanya. Ketika melintasi seorang pengemis tua yang menadahkan tangan, dia berhenti sejenak. Diambilnya receh dikantong, dan dilemparkan keaspal didepan pengemis. Sebelum ngeloyor pergi, sang preman berkata, “doakan masuk surga ya”. Dengan senyum pahit, sang pengemis menjawab, “Keneraka saja bayar ratusan ribu, ini cepek kok minta masuk surga”.

Cerita diatas mungkin hanyalah cerita pengisi waktu kosong yang tidak berarti apa-apa bagi kita. Tapi, yuk kita coba rehat dan duduk sejenak, mencari butir-butir hikmah didalamnya. Atau sambil minum kopi di café, boleh juga saat nangkring diatas wc. Dimana sajalah terserah anda enaknya.

Kadang untuk sebuah kesenangan dan pemuas keinginan, tidak terpikir dan tanpa pertimbangan begitu besar uang yang kita keluarkan. Berapa ratus ribu yang harus kita keluarkan untuk dugem, puluhan krat botol minuman keras dibeli hanya sekedar untuk mabuk, berapa lembar ribuan yang harus diselipkan disela bh para hostest saat goyang di diskotek. Pokoknya pengen senang sampai pagi sekalipun bayar, bayar dan bayar.

Tapi pernahkah kita melongok isi kotak infaq di masjid tempat kita jum’atan, terlihat jelas dasar kotaknya. Andaikan ada uang, itupun receh atau lembar ribuan yang bisa dihitung dengan jari. Ironis bukan.

Mengapa kita begitu berat mengeluarkan uang untuk kesenangan yang lebih abadi nanti? Mengapa kita selalu memikirkan dan ingat apa yang kita keluarkan untuk kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Sedang untuk foya-foya tanpa makna, kita seakan lupa.

Mungkin kita perlu melihat pekarangan hati kita yang banyak ditumbuhi semak berduri, semak yang bernama serakah, ego dan lupa diri. Semak dan perdu ini membuat kita merasa berat dan nggak ikhlas dalam beramal sholeh. Yuk kita lakukan kontemplasi diri, membersihkan pekarangan hati kita dari segala yang merintangi pandangan kita kepada Dia, Tuhan yang paling kita kasihi.

Saat melakukan sedekah dan amal sholeh lainnya, cobalah untuk membuang pikiran dan memori kita sebagaimana saat kita berfoya-foya. Lakukan dengan totalitas dan ikhlas. Mungkin itu dapat membuat kita merasa ringan saat ingin bersedekah lagi, dan lagi.

“Saat hizab nanti, semua pengeluaran kita akan ditanyakan oleh Allah, kecuali sedekah” kata Fatani, seorang sufi tua.

“Mengapa Allah tidak menanyakan sedekah kita” Tanya muridnya.

“Karena Tuhan malu untuk menanyakannya” jawab sang sufi.

“Mengapa musti malu, bukankah Dia tuhan”

“Dia takut tidak mendapat jawaban, karena orang yang ikhlas beramal tidak akan mengingat-ingat apa yang di sedekahkan”

Berikan dengan tangan kananmu, tapi jangan sampai tangan kirimu tahu, begitu petuah orang tua kita. Yuk sedekah.