Kamis, 29 April 2010

BAJU TERINDAH

“Dimanakah Abu Bakar, bebearapa hari ini aku tidak melihatnya” Tanya Rasulullah penuh rindu. Sahabat sejati yang selalu membenarkan perkataan nabi, sehingga digelari Ash Shidiq. Sahabat terdekat yang selalu membelanya, bahkan saat pedang-pedang Quraish dan tubuh Nabi hanya terpisah tembok setebal jaring laba-laba di goa tsur, rapuh dan mudah robek.
Seorang sahabat memberi tahu Rasulullah, “Sekarang Abu Bakar sangatlah miskin. Dirumahnya hanya tinggal sehelai baju yang dipakai bergantian dengan istri dan anak-anaknya untuk shalat, walau hanya sekedar menutup aurat”
Teringat Rasulullah kejadian beberapa hari sebelumnya. Saat dia menemui dua orang sahabatnya yang dermawan, Umar dan Abu Bakar. Rasul mengatakan perlu dana untuk biaya perang melawan orang kafir. Umar memberikan separuh dari kekayaannya kepada Nabi, “separuhnya aku gunakan untuk biaya hidup istri dan anak-anak”.
Tak lama berselang datanglah Abu Bakar, ditaruhnya sekarung emas di kaki Rasul, “Aku serahkan seluruh hartaku padamu ya Rasul”. Sejenak rasul memandang umar kemudian berpaling pada Abu Bakar.
“tidakkah kau sisakan buat anak istrimu separuhnya” Tanya Nabi.
“Anak istriku dibawah pemeliharaan Allah dan Rasulnya” jawab Abu mantap.
Teringat kejadian itu, Rasulullah meneteskan air mata, teringat ia kepada putrid tercinta Fatimah. Rasul bergegas menuju rumah Fatimah, kebetulan Fatimah memiliki sehelai kain sisa, dan diserahkan kepada Nabi. Nabi menyuruh seseorang untuk mengantarkan kain sisa itu kerumah Abu Bakar.
Abu Bakar melilitkan kain itu ketubuhnya, namunkekecilan, masih belum menutupi sebagaian auratnya. Maka, Abu Bakar mengambil daun kurma dan menganyamnya serta menyambungnya dengan kain sisa itu, sehingga bias menutup seluruh auratnya. Bergegas Abu Bakar menuju masjid berselimut daun kurma yang memancarkan kerinduan kepada Rasulullah.
Dimasjid Rasulullah didatangi oleh Jibril, beliau terheran-heran melhat baju jibril yang aneh. “Mengapa kau memakai baju seaneh ini Jibril”
“Hari ini seluruh malaikat di langit memakai baju seperti ini ya Rasul, untuk menghormati Abu Bakar yang memakai baju seperti ini, sekarang dia sedang dalam perjalanan menuju masjid. Tolong sampaikan padanya, bahwa Allah ridho dan menyukainya” jawab Jibril.
Saudaraku, mungkin kita sering melihat berbagai peragaan busana oleh para model dan desainer ternama di catwalk. Atau mungkin beberapa diantaranya berjejer di dalam lemari kita. Tapi, bagiku, inilah baju terindah yang pernah kudengar. Baju yang tidak tertutupi topeng sombong, pamer, atau takabur. Baju yang sederhana dan memcarkan keikhlasan. Ingin aku menyerap sinar yang memancar dari rumbai rumbai daun kurma Abu Bakar, sinar keimanan, keikhlasan dan kesederhanaan.

Rabu, 28 April 2010

ADA CINTA DI BOLA MATANYA

Cinta, suatu ketika, menjadi hal yang klise bagi kita. Cinta, suatu waktu tak mampu mengantarkan perspektif baru, dan menghapus goresan kisah lama.
Tapi, cinta seorang anak adalah keindahan yang penuh inspirasi. Kasih yang lahir dari jernihnya cahaya hati, kasih yang berkohesi dengan irama alam sedemikian tulusnya, kasih yang menyapa dengan bahasa bunga dan rerumputan apa adanya.
Lewat ruang matanya yang masih terpelihara dari residu-residu kilah manusia, kehidupan ini sebagai ruang olah diri yang nyaris paripurna, tidak ada yang sia-sia, tak kenal putus asa. Memandang dunia dengan mata batin anak, membuat kita meniti kehidupan dengan ‘kepolosan’ kemanusiaan yang mencerahkan. Dimana kini dunia sudah sarat dengan pakaian dan lipstick kemunafikan penuh kepentingan.
Bening cinta anak kita adalah sebening kasih di bola matanya, yang menghadirkan kesegaran telaga kautsar. Ingin aku berenang dalam telaga cintanya yang dalam, indah dan membahagiakan. Bening cinta anak kita adalah sebening embun pagi yang tak hanya menyegarkan, tapi juga menumbuhkan semangat dan kehidupan baru dihati kita.
Anakku, engkaulah dian dan embun pagi dalam hidupku. Kaulah permata yang tersimpan rapi dalam hatiku. Tuk dua malaikat kecilku, Eriq dan Oval, Ibu sayang kamu nak.

Kamis, 22 April 2010

SEDEKAH YG TERLUPAKAN

Suatu hari, seorang tokoh sufi, Ibrahim bin Adham, berjalan-jalan di pasar. Dia tidak ingin berbelanja sesuatu, Cuma ingin melihat-lihat keramaian pasar. Disaat sedang asyik menikmati riuh rendahnya pasar, tiba-tiba, ada yang mendesak dari dalam perutnya untuk mencari wc. Dengan tergesa-gesa Ibrahim bin Adham menuju wc umum, dan dilihatnya setiap orang yang hendak masuk wc harus membayar dulu ke penjaganya.

Saat Ibrahim hendak masuk wc tanpa membayar terlebih dahulu, ia dicegat oleh penjaga. “Saudaraku, kau harus bayar dulu, baru bisa masuk wc” cegat sang penjaga. “Maaf, saudaraku, aku tidak hendak belanja, makanya aku tidak membawa uang sepeserpun, tolonglah, aku sudah tidak tahan nih” jawab Ibrahim memelas. “Maaf saudaraku aku tidak bisa melayanimu” tegas sang penjaga dengan memasang wajah sangar.

“Saudara, kalo hanya untuk masuk rumah jin (wc) saja aku harus membayar 1000, lalu berapa yang harus kubayar saat hendak masuk rumah Allah (masjid)” tukas Ibrahim bin Adham seraya ngeloyor pergi.

Serupa dengan cerita diatas, alkisah seorang preman yang baru merampok bank, berjalan terhuyung-huyung di depan sebuah diskotik, setengah teler rupanya. Ketika melintasi seorang pengemis tua yang menadahkan tangan, dia berhenti sejenak. Diambilnya receh dikantong, dan dilemparkan keaspal didepan pengemis. Sebelum ngeloyor pergi, sang preman berkata, “doakan masuk surga ya”. Dengan senyum pahit, sang pengemis menjawab, “Keneraka saja bayar ratusan ribu, ini cepek kok minta masuk surga”.

Cerita diatas mungkin hanyalah cerita pengisi waktu kosong yang tidak berarti apa-apa bagi kita. Tapi, yuk kita coba rehat dan duduk sejenak, mencari butir-butir hikmah didalamnya. Atau sambil minum kopi di café, boleh juga saat nangkring diatas wc. Dimana sajalah terserah anda enaknya.

Kadang untuk sebuah kesenangan dan pemuas keinginan, tidak terpikir dan tanpa pertimbangan begitu besar uang yang kita keluarkan. Berapa ratus ribu yang harus kita keluarkan untuk dugem, puluhan krat botol minuman keras dibeli hanya sekedar untuk mabuk, berapa lembar ribuan yang harus diselipkan disela bh para hostest saat goyang di diskotek. Pokoknya pengen senang sampai pagi sekalipun bayar, bayar dan bayar.

Tapi pernahkah kita melongok isi kotak infaq di masjid tempat kita jum’atan, terlihat jelas dasar kotaknya. Andaikan ada uang, itupun receh atau lembar ribuan yang bisa dihitung dengan jari. Ironis bukan.

Mengapa kita begitu berat mengeluarkan uang untuk kesenangan yang lebih abadi nanti? Mengapa kita selalu memikirkan dan ingat apa yang kita keluarkan untuk kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Sedang untuk foya-foya tanpa makna, kita seakan lupa.

Mungkin kita perlu melihat pekarangan hati kita yang banyak ditumbuhi semak berduri, semak yang bernama serakah, ego dan lupa diri. Semak dan perdu ini membuat kita merasa berat dan nggak ikhlas dalam beramal sholeh. Yuk kita lakukan kontemplasi diri, membersihkan pekarangan hati kita dari segala yang merintangi pandangan kita kepada Dia, Tuhan yang paling kita kasihi.

Saat melakukan sedekah dan amal sholeh lainnya, cobalah untuk membuang pikiran dan memori kita sebagaimana saat kita berfoya-foya. Lakukan dengan totalitas dan ikhlas. Mungkin itu dapat membuat kita merasa ringan saat ingin bersedekah lagi, dan lagi.

“Saat hizab nanti, semua pengeluaran kita akan ditanyakan oleh Allah, kecuali sedekah” kata Fatani, seorang sufi tua.

“Mengapa Allah tidak menanyakan sedekah kita” Tanya muridnya.

“Karena Tuhan malu untuk menanyakannya” jawab sang sufi.

“Mengapa musti malu, bukankah Dia tuhan”

“Dia takut tidak mendapat jawaban, karena orang yang ikhlas beramal tidak akan mengingat-ingat apa yang di sedekahkan”

Berikan dengan tangan kananmu, tapi jangan sampai tangan kirimu tahu, begitu petuah orang tua kita. Yuk sedekah.