Selasa, 04 Mei 2010

TAK KUBIARKAN BIDADARIKU MENJADI SETAN

Seseorang meletakkan jabatannya. Jabatannya, sesungguhnya, tak besar: sekadar ketua pada lembaga pendidikan. Namun, keikhlasannya untuk tak menjadi apa-apa, menjadi bermakna justru di tengah tren mengejar jabatan yang akan memuncak saat ini.
Siapa gerangan seseorang yang enggan memiliki jabatan tersebut?
Ia, perempuan modern yang keluar rumah untuk bekerja. Memiliki pendidikan tinggi melebihi S1, ia pun bercitarasa kosmopolitan: setiap pekan berbelanja ke mal, boutique dan traveling.
Mengapa engkau menampik jabatan, ketika orang-orang gemar menggunakan telunjuk, untuk memerintah?
''Sejatinya, saya seorang ibu,'' tukasnya, lirih. Kalaupun bersekolah tinggi bukan untuk menjadi tangga mencapai kedudukan tinggi. Tapi, selain memudahkan jalan ke surga (lihat hadis yang diriwayatkan Muslim), saya menimba ilmu pengetahuan untuk dapat mendidik anak-anakku dan anak-anak keluarga lain yang dititipkan padaku. Mendidik bagiku telah menjadi ibadah mulia.
Tapi sebagian sahabat dan seniornya tak dapat menerima alasan tersebut. Mereka, seperti lazimnya penganut paham feminisme, menilai jabatan merupakan pintu peluang, untuk persamaan hak. Persamaan hak berarti apapun yang dilakukan pria mesti layak juga dilakukan perempuan.
Bila kaum pria dapat menghabiskan waktu di luar rumah untuk mendaki karier, mengapa pula perempuan mesti dibelenggu urusan keluarga?
Mengasuh anak sendirian, bagi ibu feminis, laiknya rembulan terbit di siang hari. Ini lantaran anak pun menjadi bahagian dari 'tuntutan persamaan hak': anak hadir akibat konsekuensi hubungan intim pasangan. Dengan demikian, pasangan (baca: suami) pun memiliki kewajiban hak yang sama, jangan hanya membebankan pengasuhan anak pada kaum perempuan (istri). Dengan pola pikir demikian, bagi kaum feminis, tak lazim alasan mengasuh anak menjadi penolakan penugasan.
Menghadapi sergahan demikian, seseorang dalam kisah ini, pulang dengan berurai air mata. Di puncak malam, ia menatapi kedua bocah perempuan yang terlelap. Wajah keduanya memancarkan keteduhan. Di saat terlelap, anak senakal apapun, menjelma menjadi bidadari. Sang ibu yang menyaksikannya tersentuh:
akankah karena pendidikan tinggi sekaligus demi karier bersinar, seorang ibu rela mengganti keteduhan wajah bidadarinya, menjadi setan berkeliaran di jalanan?
Bukankah makna kesejatian ibu ialah untuk menghindarkan anggota keluarga menjadi setan-setan berkeliaran? Kendati di berbagai ayat pada Alquran memberikan semangat persamaan antar pria dan perempuan (lihat QS 4:124; 40:40; 16:97), tak berarti persamaan itu dapat diterjemahkan dengan dangkal seperti pola pemikir kaum feminis.
Allah, tempat segala kesempurnaan bergantung, justeru membedakan ketika memberi persamaan. Perbedaan itu disesuaikan dengan kodrat dan tabiat mahluk-Nya. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...(QS 4:34; lihat juga QS 2:228).
Melalui ayat tersebut, jika dikaitkan dengan pembagian kerja, sesungguhnya Allah memberikan spesifikasi --- bukan sekadar asal menuntut persamaan hak --- yang begitu menawan. Dengan ciri fisik berbeda dengan perempuan, Allah menjadikan kaum pria sebagai pelindung dan penanggungjawab dalam rumah tangga. Perempuan mengikuti kodratnya yang lembut menjadi pengasuh. ...Ibunya mengandungnya dengan susah payah...Mengandungnya sampai menyapihnya... (QS 46:15)
Pengasuhan memang dapat mengalami revitalisasi sesuai lingkungan kekinian. Pengasuhan dapat diterjemahkan sebagai bidan, dokter, guru atau dosen maupun profesi yang sifatnya menawarkan pelayanan. Tapi, demikian seseorang tadi bergumam, tak berarti pengasuhan untuk anak menjadi urutan sekian. Pengasuhan anak justru menempati urutan awal. Ia mengandaikan, bagaimana hendak mengurus pekarangan rumah tetangga yang kotor ketika pekarangan sendiri berantakan.
Tak sekadar pengasuhan, bahkan, keterkaitan ibu dan anak hingga ke masalah genetis. Dr Ben CJ Hammel, pakar genetika di Universitas Pusat Medis Nijmegen, misalkan, melalui risetnya menyebutkan seorang ibu melalui perilaku jelek yang diwariskan pada keturunan, dapat menciptakan 'neraka' bagi kehidupan anaknya.
Ben membuktikan melalui teori genetik dan nongenetik. Faktor nongenetik terjadi akibat maternal affection pada saat kehamilan: seorang ibu pemabuk menyebabkan alkohol yang diminumnya merusak perkembangan otak bayi sehingga melahirkan anak yang mental terkebelakang.
Begitupun, melalui teori kromosom, Ben mengilmiahkan pesan 'surga di bawah kaki ibu.' Manusia, demikian Ben menjelaskan, memiliki kromosom jenis XX dan XY. Perempuan (ibu) menyumbangkan kromosom XX dan pria (bapak) XY pada proses pembuahan. Tiap kromosom mengandung gen pembawa sifat spesifik individu yaitu kromosom X merupakan gen kecerdasan. Dengan demikian, kecerdasan seorang anak ditentukan gen (kromosom X) yang diwariskan ibunya.
Kita agaknya merasa percaya dengan teori Ben yang ilmiah. Namun, jauh sebelum Ben berteori, Rasulllah SAW telah meriwayatkan keutamaan seorang ibu bagi anak dan keluarganya. Yaitu ketika seorang sahabat menanyakan siapa yang paling berhak memperoleh pelayanannya, Rasulullah menjawab, ''ibumu...ibumu...ibumu, kemudian ayahmu...'' (HR Mutaffak 'Alaih).
Bila demikian, mengapa mengasuh anak, menjadi sesuatu yang diremehkan?
Seseorang yang berlinang air mata tadi, sulit memahami terhadap prinsip sebahagian temannya: serahkan pengasuhan pada baby sitter agar leluasa bekerja.
Apa jadinya tatanan masyarakat jika setiap ibu enggan mengasuh anak demi mengejar karier di luar rumah? Kita sebagai orangtua seketika terkesiap menyaksikan bila narkoba telah dijajakan seperti permen di pekarangan sekolah SD. Kita menjadi panik dan menyesalkan anak yang tumbuhkembang liar tanpa memahami hulu keliaran itu berasal dari periuk ambisi pribadi.
Maka seorang ibu, dengan air mata bersisa di pipi, tersenyum teduh. Di puncak malam yang sunyi, ia telah menemukan keyakinan: Anak adalah amanah Allah. Jabatan hanya amanah manusia. Sayangnya, banyak ibu melupakan amanah mulia, ketika mendapatkan amanah yang lebih rendah.
Seseorang dalam kisah ini, tersenyum teduh, ketika menatap wajah kedua bidadarinya yang terlelap. Tak kubiarkan engkau, bidadariku, menjadi setan bergentayangan, gumamnya di tengah malam yang hening.

Tidak ada komentar: