Minggu, 02 November 2008

KELUAR DARI KOTAK


rutinitas yang menumpuk, prosedur baku yang kaku, pola pikir yang sempit dan instan tanpa kita sadari menjebloskan kita pada sebuah ruang semu yang membelenggu. pemahaman, sudut pandang dan ego menyebabkan kita terkukung dalam sebuah kotak yang kita buat sendiri, tanpa kita sadari. hal itu, yang membuat hidup terasa menjemukan, gelisah dan tidak bebas. karena kita telah mengikat dan membatasi dunia kita dalam sebuah kotak.
saya teringat dongeng sang kodok kolam yang sedang dikunjungi kodok laut. dengan bangga sang kodak kolam menunjukkan kolamnya yang dalam dan luas (2x3 m) sembil melompat kedalamnya.
"pernahkah kau lihat dan menyelam sedalam ini, apakah rumahmu seperti ini" teriak kodok kolam kepada temannya.
sang kodok laut hanya terdiam, bagaimana dia bisa menggambarkan luas dan dalam lautan tempat tinggalnya kepada kodok kolam, " kau datang aja kerumahku" jawab kodok laut.
nah, mumpung mentari masih bersinar cerah, dan alam masih tersenyum manis, mengapa tidak kita coba membuka dan keluar dari kota yang mengukung kita selama ini. cobalah membuka cakrawala lebih luas dan memahami sekitar dengan lebih banyak sudut pandang. banyak warna, banyak bunga dan makna yang manyatu dalam senandung harmoni memuja Tuhan

Senin, 16 Juni 2008

malam

"Demi malam, pabila menutupi (cahaya siang)..."


Allah memberikan 'kekhususan', atau sebutlah bonus, pada malam. sebab, di sepertiga atau dua pertiga malam merupakan saat terlelap seseorang beristirahat. Di saat seperti itu, seseorang berjuang melawan kantuk, dan udara dingin yang meninabobokkan. Apalagi bila membayangkan betapa asyiknya orang-orang tertidur.

Tapi, bukankah keikhlasan namanya, ketika seseorang beringsut dan menjauhkan rusuknya dari pembaringan demi beribadah kepada Allah? Keikhlasan, menjadi sesuatu yang tak ternilai, karena sudi menyisihkan kantuk. Padahal siapakah yang melarang kita tertidur ketika IA sendiri memberikan malam untuk beristirahat. Di tengah konteks demikian, betapa dalam makna ikhlas, ketika kita sudi terjaga di tengah kebeningan malam di saat khusyuk lebih mudah teraih (lihat QS 73:6).

Tak mengherankan, Allah mengganjar keikhlasan hamba-hamba-Nya yang sudi menjauhkan rusuknya, dari pembaringan. Tak sekadar turun ke lapis langit terendah dan mengabulkan doa hamba-Nya yang masih beribadah, IA pun memberikan ketenangan batin. Bukankah ketenangan batin pun merupakan tempat terpuji ketika orang-orang, di hari-hari ini, remuk dan gelisah oleh ambisi duniawi?

Minggu, 08 Juni 2008

TEMUKAN DIRIMU DALAM SEPI


Disebuah pabrik penggilingan padi, terjadi kegaduhan. Jam tangan milik seorang karyawannya terjatuh ke dalam tumpukan dedak (kulit padi). Dengan dibantu teman temannya, sang pemilik jam mencari, mengaduk dan mencarai-beraikan tumpukan dedak. Alhasil, sang jam tak ditemukan, detaknya tak terdengar ditingkahi deru mesin giling.

Saat jam istirahat, sang pemilik jam dan teman-temannya makan siang. Dilihatnya seorang anak kecil jongkok ditumpukan dedak yang telah tercerai berai. Dengan seksama ditajamkan pendengarannya, disatukan irama tubuhnya dan difokuskan penglihatannya. Sedetik disibaknya tumpukan dedak, diambilnya sebuah jam tangan tua dari dalamnya.

Dengan keheranan sang pemilik jam yang sejak tadi memperhatikannya, bertanya, bagaimana dia seorang diri bisa menemukan jam itu, sedang ia dengan teman-temannya tak bisa menemukan.

“Bapak dan teman-teman bapak mencarinya ditengah keramaian, kesibukan dan waktu yang semakin menghimpit. Sedang saya mencarinya seorang diri, cukup saya diam dalam hening, kudengar detak detak jarum jam, disitulah jam bapak terbenam” jawab sang anak ringan.

Saudaraku, keheningan adalah milik kita yang semakin lama semakin hilang dari kehidupan kita. Kesibukan yang terus menerus, rutinitas yang semakin menjemukan, tuntutan kehidupan yang semakin mencekik, dan target atasan yang semakin tak manusiawi. Sering membuat kita abai terhadap diri untuk merenung, mengheningkan diri. Merangkai kelembutan-kelembutan dalam kehidupan kita, mempertanyakan sejauh mana diri menjadi berarti dan bermakna bagi kehidupan sekitar, melihat bekal yang akan kita bawa menuju perjalan pulang kerumah-Nya.

Jumat, 23 Mei 2008

Semut Vs Sulaiman


"Berapa butir gandum yang kau makan dalam sebulan" tanya Nabi Sulaiman, penguasa separuh jagad, kepada seekor semut.
"Satu butir, wahai raja yang mengusai segala makhluk" jawab semut kepada raja yang tidak hanya manusia yang tunduk, setan dan jin pun patuh, bahkan angin dan air pun tak kuasa menolak perintah.
"Baik kau akan kuberi sebutir gandum dalam sebotol kaca, aku ingin membuktikan apakah benar omonganmu itu" perintah sang raja.
selang satu bulan, Nabi Sulaiman menjenguk sang semut di dalam botol, ternyata semut itu hanya memakan setengah butir gandum. dengan keheranan Sulaiman bertanya "Mengapa tak kau habiskan sebutir gandum itu, kok disisakan separuh".
"Ya Nabi, kalau di alam bebas, aku makan sebutir gandum bahkan lebih, itu karena aku yakin Tuhan yang menanggung rezekiku. Tapi, sekarang engkau yang menanggung rezekiku. ketahuilah, meski kau raja yang kaya raya, tapi kau tak lebih hanya manusia yang mudah berubah dan lupa. aku takut kau lupa memberiku makan, karenanya kumakan gandum itu hanya separuh" jawab semut penuh keyakinan.
"BRUKK! wadoww" aku teriak kesakitan, aku jatuh dari kasurku tidurku yang empuk. ada bentol dilenganku, ternyata seekor semut merah menggigitnya. "Ya Tuhan, aku belum sholat dhuhur, padahal udah jam dua" terima kasih Tuhan, terima kasih semut. kau tak hanya mengingatkan agar aku segera sholat, tapi, kuga mengingatkan aku agar selalu menggantungkan harapan kepada Tuhan, bukan kepada raja, nabi, atau kiai.
Allohusshomad (Allah tempat meminta) QS. Al Lhklas; 2.

Aku Letih


aku letih” guman sang hati pelan, bergema di sudut-sudut dinding dada. Hidup hanyalah sebuah rutinitas yang kehilangan makna. Kehidupan semakin tak ramah, dan menampakkan wajah yang tidak manusiawi, sangar dan kejam.

Surabaya, tempatku menjalani sekeping kehidupan, sebuah kota metropolis yang berlari mengejar mimpi dan angan semu demi sebuah tropi dan puji. Dan, aku hanya sebuah noktah dari jutaan titik dan noda dalam sebuah kanvas metropolita. Entah tanpa sadar atau ikut-ikutan, aku ikut berlari dan berlari, bekerja dan bekerja demi sebuah mimpi yang semakin jauh tak terjangkau.

mengapa aku cepat letih sekarang” kulihat bayang-bayang semakin lemah dan ringkih ditempa deru bis kota dan bemo. Memang, manusia di kota besar terbagi menjadi dua, orang kecil dan orang elit. Orang kecil diwakili oleh bus kota dan bemo serta sepeda motor, mereka seenaknya aja berkendara tanpa peduli keselamatan dan kenyamanan orang lain. Dan sebagai orang kecil, aku harus rela berdesakan bak ikan pindang didalam bis kota. Dan, orang besar diwakili mobil-mobil mewah yang berseleweran di jalan, mereka dengan seenaknya memakai jalan, karena alasan terburu waktu dan bisnis.

Rutinitas yang semakin kehilangan makna, membuat diri menjadi cepat lelah, labil dan lemah. Padahal banyak kelembutan-kelembutan diseketar kita, senyum manis istri tercinta, rajuk manja anak-anak tersayang, tangis penderitaan orang-orang terlantar yang menyembul dari rusuk-rusuk kurus mereka, atau tangis sesal kepada Tuhan diakhir malam. Semua itu kelembutan-kelembutan yang menjadikan hidup lebih berwarna dan bermakna.

Mungkin semuanya kembali kepada niat tulus dihati kita yang paling dalam (fuad). Apakah mengisi kehidupan ini diniatkan untuk mencari puji, prestasi dan tropi semata. Apakah hidup hanya untuk mengejar sejuta materi bak orang membuang air di tempayan demi mengharap air hujan. Bila itu yang kita niatkan, mungkin hidup kita menjadi roda mesin industri yang tak kenal kasih.

Dalam hidup, kita sering mengalami kegagalan dan kekalahan. Apabila tiada niat yang ikhlas, hati yang bersih dan amal yang suci, kita akan selalu mengalami kekecewaan demi kekecewaan. Kekecewaan terhadap hidup yang terus berulang dan berulang, bisa membawa kita pada muara kekecewaan terhadap Sang Pemberi Kehidupan, Tuhan. Tak terasa doa kita akan semakin kering dan palsu. Doa bukan lagi sebagai pengakuan dosa, tapi cercaan pada sang kuasa. Doa bukan lagi lagu indah tangis penuh haru, tapi tuntutan-tuntutan yang harus segera dipenuhi. Doa bukan lagi permintaan penuh harap, tapi ultimatum. Bila itu yang terjadi, akankah hilang, dimanakah indahnya rona kehidupan, syahdunya kerinduang sang pencari cinta di akhir malam dan dimanakah kemustajaban doa-doa.

Atau kita harus merevesi ulang niat hati kita untuk lebih lurus dan suci. Sekecil apapun upaya kita dalam mengisi hidup, jadikan sebagai ladang pengabdian dan amal sholeh terhadap sekitar kita, bahkan sebagai bentuk ibadah dan cinta kita kepada Tuhan. Insya Allah hidup akan menjadi lebih bermakna dan bergairah, hidup mengharu biru dalam kebahagian penuh canda dan cinta kasih, bak nyanyian burung bulbul di taman bunga mawar.

Rabu, 21 Mei 2008

Cahaya Tuhan

Aneh… Ada orang yang mengaku telah melihat Tuhan, bahkan, celakanya telah menyatu dengan Tuhan. Menurut saya, pasti orang itu bukan manusia sejati, atau jangan-jangan bukan Tuhan sejati yang dia temui. Mungkin itu jin, iblis, khayalannya sendiri, atau pemikirannya sendiri yang selama ini dipertuhankan sehingga menjelma menjadi tuhannya.

Para Ahli Suluk sering mengibaratkan dirinya adalah ngengat yang mendekati lilin. Ngengat akan selalu mendekati lilin, karena, ngengat tak akan bisa hidup tanpa cahaya sang lilin. Namun, setiap ia mendekati lilin, maka, sang ngengat akan hangus terbakar dalam kebinasaan. Ngengat sejati akan selalu mendekati lilin, dan lilin sejati akan menghanguskan sang ngengat.

Jadi, bila ada ngengat yang tidak suka cahaya lilin, mungkin itu bukan ngengat sejati. Begitu pula, bila ada lilin yang tidak menghanguskan sang ngengat, bisa jadi, itu bukan lilin sejati.

Pabila, ada manusia yang tidak suka mendekati cahaya Tuhan, mungkin dia bukan manusia sejati. Dan, bila ada Tuhan yang bisa menyatu dengan manusia, bisa jadi itu bukan Tuhan sejati.

By the way. Mustahil Tuhan menyatu dengan manusia atau manusia yang mengaku dirinya Tuhan, “ana al haq”.

Tuhan tidak pernah menyruh manusia untuk menemukan diri-Nya, melainkan Tuhan menyuruh kita selalu berusaha mendekati-Nya. Ingatlah, ketika Tuhan menampakkan dirinya di depan Musa as, maka, gunung dan lembah pun menari dalam ekstase keindahan, bahkan Musa terjungkal pinsan dan gunung membalik tubuhnya melindungi Musa dari api Tuhan yang menghanguskan.

Karenanya, yuk kita berlomba-lomba mendekati Tuhan entah dengan cara merangkak, berjalan, berlari maupun melompat. Tuhan bisa didekati dengan berbagai cara dan amalan, entah itu sholat, sedekah ataupun tangis kerinduan di akhir malam yang renta. Buang impianmu untuk menemukan tuhan secara ragawi maupun indrawi, karena Dia maha suci dari semua itu.

Wahai pengembara…walau engkau terbang tinggi mengangkasa atau tengelam kedasar jurang… kemarilah…kemarilah…karena Aku jalan-Nya.

Selasa, 20 Mei 2008

Bidadari Berselendang Bianglala

Siapakah engkau, Ufik Khorida, bidadari yang menyelinap ke dalam kehidupanku? Kita hadir dari dimensi ruang dan waktu yang berbeda, bahkan, saling tak mengenal. Tapi, kenapa disaat jumpa, kita seketika saling mempercayai untuk membangun kebersamaan, dalam perjalanan?

Sungguh, begitu mulia, mahligai pernikahan. Pernikahan membuat kita saling terbuka, saling mempercayai. Tak mengherankan, bila Allah menempatkan jodoh (penikahan) pada kelompok ilmu-Nya yang tak dapat disingkapkan secara pasti oleh hamba-Nya. Bayangkan, jika jodoh seperti juga kematian (roh), menjadi ilmu terbuka bagi hamba-Nya. Siapakah yang sudi memilih X yang masa kecilnya binal sebagai jodoh (sama dengan seseorang yang telah mengetahui tanggal dan hari kematiannya, niscaya berhura-hura untuk kemudian bertaubat saat menjelang waktu kematiannya).

Berbeda dengan malaikat, Allah memberikan hawa-nafsu (dalam tarekat inilah yang dilatih untuk menjadi an-nafs al-muthma'innah) terhadap manusia, sekaligus perangkat untuk mengendalikannya. Nafsu biologis, misalkan, disalurkan melalui pernikahan bagi yang mampu, meniru Adam dan Hawa. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam... (QS. 2:223). Begitu pentingnya pernikahan, Allah menurunkan pedoman bagi hambanya, seperti pada surah Al Baqarah.

Siapakah yang mengirimmu ke dalam kehidupanku, Ufik Khorida? Allah, betapa maha pengasih Dia, yang memberikanmu sebagaimana ketentuannya (sunnahtullah) agar mahluk hidup berpasang-pasangan. Tapi, kenapa di tengah rasa superioritas kaum pria, seringkali abai memahami bila istri merupakan 'pemberian'Nya? Betapa aku maupun kaumku, para lelaki yang merasa super, seringkali menghanguskanmu ke dalam api kemarahan.

Adakah superioritas kaum pria -- terutama di masa jahiliyah -- menyebabkan Allah memberikan perhatian khusus terhadap kaummu dengan menurunkan surat An-Nissa (wanita). Tak sekadar tuntunan menikah untuk berkembangbiak, di surat itu Dia memberikan pedoman tata cara memperlakukan kaummu, sebagai istri. Ini agar kaummu terhindar dari egoisme dan superioritas pria.

Di saat engkau berbaring di sisi tulang rusuk kiriku, betapa aku ingin merumuskan hakikatmu. Tapi, mengapa sulit merumuskanmu: engkau, mahluk yang kuat ketika lemah, begitu manja ketika tegar. Engkau, bahkan, lebih kuat menanggung penderitaan ketika sendirian. Sungguh berbeda dengan pria yang dicitrakan superior (adakah kekuatan pria justru menjadi kelemahan ketika ia ditinggalkan sendirian sehingga cenderung mencari kembali pasangan hidupnya demi menyokong superioritasnya?)

Kodrat kaummu serba kontradiktif. Itukah penyebabnya Nabi SAW berfatwa, ''sesungguhnya wanita seumpama tulang rusuk yang bengkok. Bila kamu membiarkannya (bengkok) kamu memperoleh manfaatnya dan bila kamu berusaha meluruskannya maka kamu mematahkannya.'' (HR. Aththahawi). Namun, bagiku, istri merupakan cobaan bagi suami. Tak mengherankan, jika Allah menentukan posisi suami sebagai pemimpin bagi perempuan. Begitu juga memberikan pedoman terhadap muslim untuk mendapatkan istri yang tidak berasal dari kaum musyrik.

Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman... (QS 2:221)

Mengapa demikian? Karena engkau, istri bersama kaummu, mendapatkan kemuliaan-Nya. Sekadar menyebut contoh, Allah bersifat rahman dan rahim. Perempuanlah yang memiliki (sifat) rahim. Di rahim, perlambang kasih, Allah menumbuhkan janin. Dengan kasih dari pemilik rahim, anak-anak tumbuh, menjadi muslim dan muslimah. Dengan anugerah kemuliaan semacam itu, kenapa masih ada perempuan alpa pada kesucian makna rahim, justru ketika memiliki rahim? Sesungguhnya dunia seluruhnya materi (perhiasan) dan sebaik-baiknya materi ialah wanita (istri) yang sholeh (HR. Muslim)

Betul, engkau istriku, bukan pemimpin utama. Tapi, sesungguhnya engkau menentukan, ketika hanya menjadi posisi pendamping. Engkau, di saat menjadi istri yang suci, semestinya menjadi pengawas suami saat keliru melangkah. Siapa yang dapat mengukur air matamu yang berderai di saat engkau berdoa memohon agar Allah menunjukkan jalan yang benar pada suami? Airmata yang selama ini dicitrakan sebagai kelemahan justru menjadi kekuatan untuk mengembalikan suami (keluarga) ke jalan yang benar.

Tapi, siapakah engkau, Ufik Khorida, bidadari yang menyelinap ke dalam kehidupanku? Istri-istri yang suci justru merupakan jalan bercahaya menuju-Nya. Kesucianmu (banyak buku mengupas kriteria istri saleha sebagai pedoman) menjadi suar di tengah keluarga (tempatmu berada) untuk membentuk keluarga sakinah. Cahayamu menerangi perjalanan menuju pada-Nya. Kesabaran dan keikhlasanmu mengelola rumah tangga membuat para suami (keluarga) merasa khidmat untuk beribadah. Sebaliknya, istri-istri 'musyrik', bagai lorong gelap yang menyesatkan. Karena itu, istriku, jadilah engkau suci untuk menjadi jalan bercahaya bagi keluarga.

Wahai Ufik, di saat engkau menjadi jalan bercahaya, mengapa mesti menggantinya? Bukankah sejatinya, aku mencintaimu karena cintaku pada-Nya yang memuliakanmu, Ufik Khorida, istriku yang suci!

Senin, 19 Mei 2008

berkah sang bangkai

Dengan semangat badar, Abdullah bin Mubarok, berjalan kepasar. Uang 500 dirham sudah ditangan, terbayang seekor unta sedang dinaikinya menuju Makkah. Ya, Abdullah bin Mubarok berniat naik haji, dia perlu unta sebagai tunggangan memenuhi panggilan-Nya. Tapi apa hendak dikata, uang itu kurang untuk membeli seekor unta yang paling kurus sekalipun. Dengan langkah gontai Abddullah pulang menyusuri jalan yang tadi dilewati dengan semangat Perang Badar. Dilihatnya seorang perempuan sedang duduk di tempat samapah, karena penasaran dihampirinya wanita itu.

“Assalamu’alaikum ibu” salam Abdullah

“Wa’alaikum salam” jawab si wanita pendek Betapa terkejutnya Abdullah, si wanita itu sedang menguliti bangkai ayam.

“Ibu bukankah engkau tahu, bangkai itu haram dimakan”

“Abdullah, bangkai ini haram bagimu, namun halal bagiku” ujar siwanita dengan tatapan tidak senang.

“Apa yang menyebabkan bangkai itu halal bagimu” Tanya Abdullah penasaran.

“Pergilah, jangan ganggu aku” sergah sang wanita

“Demi Allah katakanlah”

“Baiklah karena kau meminta dengan nama Allah. Ketahuilah aku dan anak-anakku telah tiga hari tidak makan, sedangkan suamiku syahid di jalan-Nya. Sedang untuk meminta-minta aku tak mau” urai si Ibu sedih.

Tak terasa air mata berurai di pipi Abdullah bin Mubarok, “Adakah haji yang lebih mabrur dari menolong ibu ini Abdullah” kata hatinya bergema di dinding dada.

“Wahai Ibu, sekarang bangkai itu haram bagimu, ambillah uang ini, dan belilah makan buat anakmu” ujang Abdullah sambil menyerahkan seluruh uangnya. Ibadah haji tinggallah impian baginya.

Selang beberapa bulan, Abdullah bin Mubaraok bersama orang-orang ikut menyambut rombongan jamaah haji yang pulang dibatas kota.

Beberapa jamah haji menceritakan telah bertemu Abdullah bin Mubarok di Makkah. Tapi Abdullah menyangkalnya, karena dia urung naik haji. Namun, beberapa jamaah bersikukuh telah berjumpa dengannya di Makkah.

Pada malam harinya, Abdullah bermimpi didatangi Rasulullah Muhammad, “Abdullah kau telah berkenan menolong keturunanku dari barang haram, maka, Allah telah mengutus malaikat untuk berhaji atasmu setiap tahun hingga hari kiamat”

Saudara-saudaraku, semoga cerita diatas dapat memotivasi kita untuk lebih peduli kepada penderitaan orang lain dengan ihklas dan totalitas.

Selasa, 13 Mei 2008

Dialog dengan Sang Iblis

Malam semakin tua dan reot, saat kudengar ketuk pintu, lamat dan perlahan. Dengan tanya kulangkahkan kaki menuju pintu, ahh siapa gerangan yang masih bertamu ditengah malam yang semakin renta.

“Selamat malam” salam sesosok tubuh di balik pintu. Kakinya pincang, dagu panjang dengan janggut yang jarang, kepala botak dan peang.

“Astaughfirloh” teriakku sambil memungut sandal yang kupakai. Akan kulempar makhluk terkutuk ini seperti Ibrahim melemparnya di jamarat dulu. Makhluk yang telah menyebabkan Bapak Adam terlempar ke bumi.

“Jangan! Aku mau tobat” teriaknya mengurungkan tanganku melempar sandal.

“Aku sudah bosan menggoda saudara-saudaramu” ujarnya gusar. “aku ingin tobat dan menjadi makhluk yang baik. Aku juga ingin merasakan nikmat surga dan wangi bidadari”

“Mengapa kau ingin tobat, bukankah kau sudah bersumpah menggoda manusia hingga kiamat” tanyaku heran. Malampun semakin ringkih dan renta ditingkah suara anjing dibatas desa.

“Selama ini aku nganggur, kerjaku hanya bermalas-malasan, tidur dan minum kopi. Saudara-saudaramu tanpa kugoda sudah pintar menggoda dirinya dan temannya untuk bermaksiat kepada Allah. Saudara-saudaramu telah merampas tugas dan sumpah yang kuteriakkan di depan Tuhan”

“Tak ada yang dapat kukerjakan selain bertopang dagu, tidur dan bermalas-malasan. Bosan hidup nganggur melulu. Kau saja suruh nunggu lima menit sudah nggak sabar, apalagi aku, harus nunggu sampai kiamat, bisa mati diam aku” ujar Iblis lirih.

Sesaat kutarik nafas lega, “Alhamdulillah, Iblis telah bertobat, berarti perjuanganku untuk meraih sorga sangat ringan, tiada goda, tiada rintang dan dosa. Aku pasti bisa masuk sorga” teriakku dalam hati girang.

Eit, ntar dulu. Apa arti kebaikan bila tidak ada kejelekan, masih pantaskah itu disebut kebaikan? Apa arti iman tanpa durhaka, dan apa arti syurga bila tidak ada neraka. Ahh, aku jadi ingat sayur asem masakan istri yang lupa nggak dikasih garam, kecut dan hambar, tiada lagi kesegaran, hilang sudah kenikmatan dan gairah makan.

“jangan, jangan kau bertobat iblis, apa kata dunia nanti”Sergahku pada iblis.

“Kenapa, emang aku nggak boleh bertobat, bukankah seharusnya kau senang, musuhmu sudah takluk dan kau tak ada rintanagn untuk meraih sorga” Tanya iblis heran.

“Karena dunia akan kehilangan keseimbangan. Coba bayangkan dunia yang tiada salah, tiada dosa dan tiada maksiat. Lalu apa arti tobat, maaf dan tangis penyesalan. Tidak akan ada keindahan kata maaf, hilang sudah kenikmatan tangis haru taubatan nasuha, dan tak ada artinya penyesalan diteriakkan” jawabku pelan, sepelan desir angin malam.

Padahal Allah lebih menyukai tangis sesal dan harap penghuni neraka daripada alunan MTQ, karena mereka menyebutnya dengan sepenuh jiwa.

“Urungkan saja niat tobatmu iblis, sebab dunia tanpa salah adalah gereja, ummat tanpa cela adalah malaikat dan manusia biarlah dengan dunianya, dunia dimana kebaikan dan keburukan berlomba dan menari. Jadi kumohon urungkan niatmu, kau hanya membuat dunia menjadi satu warna, hitam dan putih. Tidak ada harmoni, tidak ada gairah dan motivasi, karena semua sudah final dan pasti”

“Ngomong-ngomong ngapain dulu pake sumpah nyesatkan segala, ngapain kamu pake melawan Tuhan” tanyaku heran.

“Aku cemburu” jawab Iblis sendu. “ aku tak mau menduakan Dia. Hanya dia yang patut disembah, tidak ada tempat bagi Adam atau Muhammad bagiku. Hati ini hanya milik Dia” jawab iblis meninggi.

“Tapi yang nyuruh kan Tuhanmu. Aku saja marah kalo anakku tak mau saya suruh nginjak bahuku karena pegal, padahal itu tak sopan menurut mereka”

“Aku cemburu dan aku merasa terhina” gumannya semakin rendah.

“Tuhan itu tak hanya harus kita yakini keberadaannya, tapi juga harus kita yakini kebenarannya firman-Nya” tegasku.

“Aku harus pergi, ntar lagi subuh, besok kita jumpa lagi” pamit Iblis. Malam sudah mencapai ujungnya. Lamat-lamat tarkhim terdengar dari musholla di pojok kampung. “Semoga Iblis tidak jadi bertobat”

Senin, 12 Mei 2008

Dzikir Sang Rumput


Saat pagi, lihatlah mentari, pandangilah bunga dan nikmati keanggunan rumah kita, tapi jangan buang mukamu dari rerumputan yang sedang bergoyang. Rumput iu sedang ekstase berdzikir dan memuji-Nya. bukankah setiap makhluq di alam ini bertasbih memuji-Nya. Sang batu berdzikir dengan diamnya yang mati. Sang burung dengan kicaunya dan angin menyebut namanya lewat desau pagi yang menyejukkan. bukankah dzikir itu menyejukkan dan menggairahkan, karena, dzikir yang membakar jerami bukanlah dzikir, tapi teriakan keledai dungu.
Jangan abaikan rumput yang bergoyang, karena ia sedang berdendang memuji Tuhan. Lihatlah senyum-Nya di balik hijau. Bukahkah Musa ditegur Tuhan melalui rumput. makhluk yang kita anggap gulma dan perusak pesona taman.
Alkisah, Nabi Musa, sedang sakit gigi. Berbagai obat telah dicoba, namun sakit semakin menggigit gigi. Diujung harap, dia berdoa kepada Tuhan, agar sakitnya disembuhkan. Bukankah dia Rosul, kekasih Tuhan, pasti doanya terkabul. "Tuhan...gigiku sakit" adunya sambil menyeringai.
"Musa, ambillah rumput yang kau injak itu, teteskan air mata yang keluar darinya" perintah-Nya. Musa mencabut rumput yang terinjak kakinya yang kokoh, diteteskanya getah rumput ke giginya. Ajaib, gigi Musa tidak sakit lagi, sembuh.
Suatu hari, sakit gigi itu kambuh. Musa segera mencabut rumput dan meneteskan getahnya seperti dulu saat diperintah Tuhan. Tapi, giginya masih senut-senut, sakit itu semakin menghunjam, Musa pun heran. "Tuhan, obatmu dulu kok nggak manjur lagi"
"Musa, dulu kau berobat karena Aku, makanya kusembuhkan. tapi, sekarang kau berobat karena rumput"
Subhanallah, makhluk yang kita anggap pengganggu itu, ternyata menegur Musa untuk kembali memuji Tuhan, dan menggantungkan asa hanya kepada-Nya.

Neraka yang Indah


Seorang anak manusia terheran-heran di pintu surga, dentang tanda tanya bergemuruh di dadanya. “Bukankah ini sorga, lalu dimanakah neraka yang apinya berkobar hingga kehati, dimanakah panas yang mampu menghanguskan kenikmatan dunia itu, lalu dimanakah tempat azab untuk mencuci dosa dan noda” tanyanya beruntun terhadap malaikat penjaga pintu surga.

“Wahai orang yang beruntung, ini adalah surga dan kau telah melalui neraka yang berkobar dan menyakitkan” jawab sang malaikat.

“Tak pernah kulihat api walau setitik, tak kualami siksa walau setusuk duri” tegas sang manusia.

“Lalu apa yang kau jumpai sebelum sampai disini” Tanya malaikat heran.

“Kulewati taman bunga mawar dengan burung dan kupu yang bersenda gurau. Kuhirup bau wangi sang mawar yang menenangkan. Kucium rona merah pipi sang kekasih ditangkai mawar” jawab manusia.

“Itulah neraka…! Jawab malaikat.

“Lalu dimana api, dimana siksa dan dimana zabaniah yang kejam tak berhati tak berkasih itu”

“Neraka itu panas dengan siksa yang menyakitkan. Tapi, kau telah merubahnya menjadi taman bunga mawar yang sejuk, harum dan indah”

“Ketahuilah, tetes air mata tobatmu telah memadamkan api neraka, kesabaranmu meredam api amarah yang berkobar membuat bara neraka menjadi dingin, seperti Ibrahim ditengah api Namrudz. Amal sholehmu menumbuhkan beragam bunga tempat burung dan kekupu bercengkrama. Kau telah membuat neraka yang panas menjadi taman bunga mawar penuh cinta dan asa” urai malaikat penjaga pintu surga.

“Sekarang, masuklah ke surga melalui pintu manapun yang kau mau” pinta sang malaikat.

Wahai jiwa yang tenang, mari, kembalilah dalam pelukan kasih-Ku, bercengkrama bersama mereka yang tercinta, masuklah ke dalam surga-Ku.

Kamis, 08 Mei 2008

Yuk Sedekah

Suatu hari, seorang tokoh sufi, Ibrahim bin Adham, berjalan-jalan di pasar. Dia tidak ingin berbelanja sesuatu, Cuma ingin melihat-lihat keramaian pasar. Disaat sedang asyik menikmati riuh rendahnya pasar, dia merasa ada yang mendesak dari dalam perutnya untuk mencari wc. Dengan tergesa-gesa Ibrahim bin Adham menuju wc umum, dan dilihatnya setiap orang yang hendak masuk wc harus membayar dulu ke penjaganya.

Saat ibrahim hendak masuk wc tanpa membayar terlebih dahulu, ia dicegat oleh penjaga. “Saudaraku, kau harus bayar dulu, baru bisa masuk wc” cegat sang penjaga. “Maaf, saudaraku, aku tidak hendak belanja, makanya aku tidak membawa uang sepeserpun, tolonglah, aku sudah tidak tahan nih” jawab Ibrahim memelas. “Maaf saudaraku aku tidak bisa melayanimu” tegas sang penjaga dengan memasang wajah sangar.

“Saudara, kalo hanya untuk masuk rumah jin (wc) saja aku harus membayar 1000, lalu berapa yang harus kubayar saat hendak masuk rumah Allah (masjid)” tukas Ibrahim bin Adham seraya ngeloyor pergi.

Serupa dengan cerita diatas, alkisah seorang preman yang baru merampok bank, berjalan terhuyung-huyung di depan sebuah diskotik. Dia sedang setengah teler rupanya. Ketika melintasi seorang pengemis tua yang menadahkan tangan, dia berhenti sejenak. Diambilnya receh dikantong, dan dilemparkan keaspal didepan pengemis, sebelum ngeloyor pergi, sang preman berkata, “doakan masuk surga ya”. Dengan senyum pahit, sang pengemis menjawab, “Keneraka saja bayar ratusan ribu, ini cepek kok minta masuk surga”.

Cerita diatas mungkin hanyalah cerita pengisi waktu kosong yang tidak berarti apa-apa bagi kita. Tapi, yuk kita coba rehat dan duduk sejenak, mencari butir-butir hikmah didalamnya. Atau sambil minum copi di café, boleh juga saat nangkring diatas wc. Dimana sajalah terserah anda enaknya.

Kadang untuk sebuah kesenangan dan pemuasan keinginan, tidak terpikir dan tanpa pertimbangan begitu besar uang yang kita keluarkan. Pengen dugem bayar, pengen mabuk bayar, pengen lenggak lenggok di diskotek bayar, pkoknya pengen senang sampai pagi sekalipun bayar, bayar dan bayar.

Tapi cobalah sekali-kali melongok isi kotak infaq di masjid tempat kita jum’atan, terlihat jelas dasar kotaknya. Andaikan ada uang, itupun receh atau lembar ribuan yang bisa dihitung dengan jari. Mengapa kita begitu berat mengeluarkan uang untuk kesenangan yang lebih abadi nanti? Mengapa kita selalu memikirkan dan ingat apa yang kita keluarkan untuk kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Sedang untuk foya-foya tanpa makna, kita seakan lupa.

Mungkin kita perlu melihat pekarangan hati kita yang banyak ditumbuhi semak berduri, semak yang bernama serakah, ego dan lupa diri. Semak dan perdu ini membuat kita merasa berat dan nggak ikhlas dalam beramal sholeh. Yuk kita lakukan kontemplasi diri, membersihkan pekarangan hati kita dari segala yang merintangi pandangan kita kepada Dia, Tuhan yang paling kita kasihi.

Saat melakukan sedekah dan amal sholeh lainnya, cobalah untuk membuang pikiran dan memori kita sebagaimana saat kita berfoya-foya. Lakukan dengan totalitas dan ikhlas. Mungkin itu dapat membuat kita merasa ringan saat ingin bersedekah lagi, dan lagi.

“Saat hizab nanti, semua pengeluaran kita akan ditanyakan oleh Allah, kecuali sedekah” kata Fatani, seorang sufi tua.

“Mengapa Allah tidak menanyakan sedekah kita” Tanya muridnya.

“Karena Tuhan malu untuk menanyakannya” jawab sang sufi.

“Mengapa musti malu, bukankah Dia tuhan”

“Dia takut tidak mendapat jawaban, karena orang yang ikhlas beramal tidak akan mengingat-ingat apa yang di sedekahkan”

Berikan dengan tangan kananmu, tapi jangan sampai tangan kirimu tahu, begitu petuah orang tua kita. Yuk sedekah.

DOA


Ya Allah...
Jadikanlah hati kami yang membatu ini seperti lilin.
Jadikanlah ratapan kami begitu sedap, dan menjadi sasaran kasih-Mu.

Ya Allah...
Jangan adili kami dengan keadilan-Mu.
Adili kami dengan cinta-Mu.

Ampuni kami yaa Allah.
hambamu yang slalu mengharap kasih-Mu.
Bahkan di pintu neraka pun.
aku tetap berharap.

Selasa, 06 Mei 2008

LALAT

Mengapa Tuhan menciptakan lalat, makhluk pengganggu yang kotor dan hina” Tanya Khalifah Al Mansyur kepada seorang ulama besar dalam sebuah pertemuan di istananya yang megah. Sang khalifah merasa terganggu dan malu, karena ulah makhluk kecil, lalat, yang tidak tahu sopan-santun dan seenaknya hinggap di kening, mulut, dada, bahkan celakanya menclok di mahkotanya yang indah.

Sungguh memalukan, sebuah istana yang megah dan dijaga ketat, dikelilingi benteng yang kuat, seekor lalat masih bisa menembusnya apalagi disaat pertemuan yang dikelilingi orang-orang besar dan terhormat. Lalat tidak pantas masuk istana, tempatnya hanya di kolong meja, tempat sampah atau ngerubungi borok dan koreng yang bau.

Lalat diciptakan untuk mengingatkan ketidakadilan dan kesombongan tuan” jawab sang ulama yang terkenal kritis dan lurus itu. Dia merasa perlu untuk mengingatkan khalifah besar abbasiyah itu, bahwa ada yang tidak benar dalam pemerintahannya. Termasuk pula ketidakmauan sang ulama untuk menerima jabatan maupun tunjangan yang diajukan khalifah. “Permintaan saya, jangan undang saya lagi kedalam pertemuan di istanamu” tegas sang ulama.

Kadang seseorang yang memiliki integritas dan kritis, menjadi lalat bagi sang penguasa. Dia dianggap sebagai pengganggu dan penghalang bagi kepentingannya dalam pemerintahan. Kritiknya sering membuat muka merah, kening berkerut dan telinga menjadi panas, terkadang membuat dirinya malu, itupun kalo masih punya malu.

Sang lalat pun lebih suka hidup ditengah sampah, orang-orang tertindas dan terpinggirkan (muztad’afin). Lebih suka lagi dia hinggap di borok penguasa, kotoran pemimpin. Lalat tidak suka tinggal bersama mereka, kalo harus kehilangan sifatnya sebagai lalat. Berani, jujur dan kritis.

Pepatah arab mengatakan, “Keberaniannya seperti lalat”. Tanpa permisi dan rasa takut, sang lalat seenaknya hinggap di mahkota raja, dipundak panglima militer, bahkan di moncong senapan tentara. Tidak ada seorang penguasa yang besar sekalipun bisa memerintah sang lalat untuk cuci kaki dan tangan dahulu sebelum hinggap ditubuhnya, atau duduk manis menunggu perintah dan hadiah.

Kehadiran lalat ditubuh menunjukkan ada yang tidak benar di tubuh itu, entah itu kotor, najis, ataupun bau. Ada yang salah dengan lingkungan kita, ada yang tidak beres dengan system yang ada. Selayaknya kita berterimakasih terhadap lalat, dan mau mengkoreksi diri dan lingkungan kita. Sudah benarkah pekerjaan kita, sudah sempurnakah ibadah kita, sudah bersihkah hati kita, dan ikhlaskah niat kita dalam beramal sholeh.

Ngomong-ngomong, kok banyak lalat dimeja makanku, wow…maaf, saya lupa menaruh pispot dimeja makan. Mungkin, lalat mau mengingatkan aku untuk membersihkan rezeki dari yang haram dan subhat, ataupun cara-cara yang tidak benar dalam mencari rezeki.

Senin, 05 Mei 2008

ANJING

Anjing loe” makian gaya jakarte, apalagi di dunia kriminal. Anjing mungkin hanya di dunia kriminal punya tempat terhormat, antara mereka kalo ketemu sering teriak “ Anjing loe, kemana aje”. Mungkin semacam salam yang hangat dalam dunia orang baik-baik, tuk mencairkan suasana agar lebih hangat dan familiar.

Ironisnya, di dunia orang yang ngaku sebagai umat yang baik-baik, anjing adalah makhluk paling hina dan najis. “Ati-ati ada anjing lewat, timpuk aja pake batu” teriak mereka saat melihat anjing. Anjing dilarang memasuki gang ataupun kampung orang baik-baik. Bahkan untuk menakuti pengemis ataupun peminta sumbangan, dipagar rumah kita tulis “AWAS ANJING GALAK”.

Anjing adalah lambang orang yang serakah, tak tahu malu dan suka menjilat (kacung). Anjing juga jadi lambang orang alim yang tak peduli baik dan buruk dalam mengejar materi dan kepuasan hidup. Anjing adalah lambang makhluk yang hina, najis dan kotor, bahkan bila tersentuh, harus dicuci hingga 7 kali.

Kasihan si anjing, jadi ikon sesuatu yang jelek dan jahat. Padahal, didunia kepolisian dan militer, yang notabene penegak kebaikan, anjing adalah peliharaan yang sangat berguna. Anjing adalah makhluk pintar yang disiplin, setia dan jujur. Anjing selalu melaksanakan perintah tuannya bahkan kesetiaannya patut diacungi jempol.

Dalam dunia sufi, anjing memiliki tempat terhormat. Ingatlah kesetiaan anjing dalam cerita ashabul kahfi, yang rela menjaga tuannya selagi tidur, hingga si anjing berubah jadi tulang belulang selama ratusan tahun. “Jadilah seperti anjing dalam kesetiaan hidup” sebuah hikmah yang menunjukkan kelebihan dari seekor anjing. Makanya, jangan cepat cepat tersinggung kalau kita disebut anjing, bisa jadi sipemanggil sedang memuji kesetiaan kita.

Pernah suatu saat, seorang alim berkunjung ke rumah tokoh sufi. Dilihatnya sang sufi sedang sibuk memberi minum susu segerombolan anjing liar dan kurus, bahkan beberapa diantaranya kudisan. Dengan heran si alim bertanya “Mengapa kau beri anjing itu minum”. Sang sufi menjawab “Karena di rumah inilah mereka mendapat perhatian dan kasih sayang sebagai sesama makhluk Tuhan”.

Ahmad ibn Hanbal, seorang imam mahzab terkenal, menulis dalam bukunya, Az Zuhd. Beliau pernah bersua dengan seorang tokoh sufi besar, Malik ibn Dinar, berjalan bersama anjing. “Mengapa kau berjalan bersama anjing” Tanya sang imam keheranan. “ Anjing ini bisa menjadi teman yang baik daripada teman manusia yang buruk” jawabnya penuh kasih.

Tidak ada makhluk yang memonopoli kebaikan, bahkan manusia sekalipun. Tidak ada makhluk yang memonopoli kejelekan kecuali setan. Sejelek-jelek anjing, dia adalah makhluk Tuhan yang diwarnai kejelekan dan kebaikan, sebagaimana kita, manusia. Pasti ada setitik keindahan dan setetes hikmah dibalik tubuhnya yang jelek, kotor dan najis. Suatu saat, Nabi Isa As. berjalan bersama para sahabatnya, dilihatnya bangkai seekor anjing tergeletak di pinggir jalan. “Busuk sekali bau binatang hina ini” kata sahabatnya. “Lihatlah giginya, begitu putih “ tukas Nabi Isa as.

Memang, masih ada setitik keindahan, setetes hikmah dari setiap kejelekan. Semoga kita bisa menarik hikmah dan menikmati keindahan itu.

Minggu, 04 Mei 2008

HIDUP LAKSANA MENGUPAS BAWANG


“Ayah… maem, Oval lapel” rajuk malaikat kecilku, mengagetkan di sebuah sore diiringi denting gerimis yang malas. “Laper nak, Oval mau ikan apa?”. “ Ikan telul dadal yah” sahut anakku dengan bahasa yang masih pelo, lucu kedengarannya. “Ok… tunggu sebentar ya” sahutku sambil meninggalkannya ke dapur. Kalo’ soal buat telul dadal, eh telur dadar, saya jagonya. Istripun kalah untuk resep yang satu ini, gampang dan praktis.

Sambil menikmati gerimis, kuambil bawang merah di tempat bumbu. Wah, bawangnya sudah kering, coklat dan kotor, mungkin istriku, ridha, lupa belanja. Tapi tak apa, mungkin di dalamnya masih bagus.

Perlahan dan hati-hati kukupas kulit bawang yang coklat, bau dan kotor ini, mataku mulai terasa perih. Hm, benar juga, didalamnya masih bagus, merah muda, segar dan mengagumkan. Tak terasa tanganku terus mengupas si bawang merah. Warnanya semakin putih, terang dan segar. Bau bawang semakin menyengat, dan air mata pun mulai meleleh tanpa terasa. Aku terhanyut dalam aroma keindahan bawang yang semakin putih menyegarkan.

Denting gerimis semakin membuatku tenggelam dalam ekstase yang mambahagiakan. Ahh…aku jadi teringat pada perjalanan hidupku yang kering dan sempit. Hidup hanya sebuah rutinitas yang dikejar target, persaingan dan intrik yang menjemukan. Hidup hanya untuk mengejar materi, seperti air laut, semakin banyak diminum semakin membuat haus dan sengsara. Apakah aku terjebak dalam pusaran hidup yang ganas dan tanpa belas kasih. Banyak materi tapi tidak membahagiakan. Tuhan… kembalikan aku kejalan yang benar. Ihdinazh Zhirotol mushtaqiim.

Andai aku bisa bersabar dan tabah, mau menerima dengan ikhlas apa yang ada di genggaman, pasti jebakan itu bisa kuhindari. Nrimo ing pangdum, menerima dengan lapang hati apa dan berapapun pemberian-Nya, kata nenek dulu sewaktu masih hidup, adalah kekayaan terbesar yang nyata. tak usah kau pikirkan apa yang ada di belakang atau disampingmu, nikmati apa yang ada digenggaman tanganmu, kau akan menemukan kebahagiaan yang hakiki. Lihatlah ke dalam, jangan kau bebas liarkan nafsumu menerawang keluar. akan kau temukan mutiara yang hakiki di dihatimu. Mutiara yang memancarkan cahaya-Nya.


“Ayah… mana telul dadalnya, Oval lapel nih” malaikat kecil berumur 2 tahun, kembali mengagetkanku. “ Ya Allah… maaf nak, ayah kelamaan ya” tukasku. “ Ayah kok nangis” bening bola matanya keheranan. “Ooo… tidak, mata ayah kena aroma bawang, jadi meleleh” kulihat si bawang merah telah kubuka habis hingga ke jantung hatinya. Terpaksa kuambil lagi bawang yang tinggal sebutir di kotak bumbu, semoga masih bisa membuat telul dadalnya gurih dan enak.

Heehh… kalo dipikir-pikir, hidup memang seperti mengupas bawang merah. Diluar tampak kecoklatan, kotor, dan bau. Ketika dibuka, ia berwarna semakin putih. Semakin dibuka semakin putih. Dan, tatkala semuanya terbuka, tak ada apa-apa yang tersisa, kecuali air mata yang meleleh.

Yup, sudah mateng, hhmmm lezzaaaattt. Telur dadar istimewa yang dibuat dengan penuh perasAan dan hikmah. “Adeeeek Ovall, telurnya udah mateng nih” lho, malaikat kecilku tertidur dilantai berbantal tangannya yang mungil dan lucu. Maafkan ayah nak, kelamaan nunggu ya. Kasihan.

Rabu, 30 April 2008

SANDAL


Setiap hendak memasuki rumah-Nya, masjid, kita diharuskan melepaskan apapun alas kaki, entah itu sepatu mahal, sandal kulit ataupun bakiak. Kita sedang memasuki gerbang suci yang penuh damai dan harapan. Kita hendak bercengkrama dengan Dia yang kita cintai melebihi segalanya dalam hidup ini. Ar Rahman- ar Rahim.
Pelepasan sandal adalah simbol pembebasan diri dari keterikatan duniawi (materi). Benarkah sandal adalah salah satu simbol kemewahan dunia? “ Meski baju berharga jutaan, kalau sandalnya seharga kacang goreng, gengsi kita sama dengan penggorengan, hitam dan jelek”. Tukas istri tetangga yang sedang protes ke suaminya kemarin sore. Ya Allah, demikian rendahkah simbol dunia, sehingga sandal, tempat pijakan bisa menunjukkan nilai dan harga diri seseorang. Padahal semahal berapapun sebuah sandal, tempatnya tetap ditelapak kaki. Alat menginjak tanah, ludah dan kotor.

Setiap hendak shalat di rumah-Nya, kita diharuskan meninggalkan sandal kita dipelatarannya. Melepas sandal adalah simbol pengosongan diri (takhalli), bahwa kita sudah menanggalkan berbagai atribut kebanggaan. Jabatan yang mentereng, rumah mewah, harta berlimpah, gelar yang berderet, bahkan keluarga yang kita sayangi, sementara waktu kita tinggalkan. Menjumpai-Nya seperti gelas kosong, yang dengan penuh harap untuk diisi apa saja sesuai kehendak-Nya. Karena gelas yang kosong akan bisa menerima air nikmat dan hidayah. Gelas yang penuh dengan ego dan kesombongan tak akan pernah bisa menerima masukan, bahkan muntah, entah itu ilmu, hidayah ataupun cinta kasih.

Diceritakan, pernah seorang yang alim meninggalkan sandalnya saat hendak masuk masjid. Tak lama kemudian, masuk pula orang bijak yang membungkus sandalnya dan ikut dibawa masuk. Kejadian ini mengherankan bagi seseorang yang duduk-duduk diemperan masjid, dan menanyakannya ketika kedua orang itu keluar masjid. Sang alim menjawab”Saya meninggalkan sandal karena saya ikhlas dan tawakkal” sedang si orang bijak menjawab “saya membungkus dan membawanya, karena takut timbul pikiran jahat pada orang lain saat melihat sandal ini

Sebuah hikmah yang amat tinggi dari sebuah kejadian melepas sandal di rumah-Nya. Dengan menanggalkan atribut duniawi, kita menghadap-Nya bak seorang bayi yang polos dan telanjang, tanpa dosa dan cela, tanpa topeng dan kemunafikan. Dengan melepas sandal, Dia akan memeluk kita dengan pelukan kebahagiaan, melebihi kebahagiaan seorang bayi yang menemukan tetek ibunya disaat kehausan sedang mencekiknya.

Senin, 28 April 2008

TAUBAT


Jika engkau belum mempunyai ilmu

dan hanya persangkaan,

maka milikilah persangkaan yang baik tentang Tuhan.

Jika engkau baru mampu merangkak,

maka merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,

maka tetaplah persembahkan doamu yang kering,

munafik dan tanpa keyakinan;

karena Tuhan dalam rahmat-Nya

tetap menerima mata uang palsumu.

Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan

mengenai Tuhan,

maka kurangilah

menjadi sembilan puluh sembilan saja.

Wahai pengembara…!

Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,

ayolah datang,

dan datanglah lagi!

Karena Tuhan telah berfirman:

"Ketika engkau melambung ke angkasa

ataupun terpuruk ke dalam perut bumi,

ingatlah kepada-Ku,

karena Aku-lah jalannya." (Rumi)

Rabu, 23 April 2008

IKHLAS


"Saya tidak pernah berpikir menjadi lilin, karena saya tidak pernah memiliki kearifan seorang mahatma ghandi" (sonia gandi)
Keikhlasankah namanya, ketika lilin membakar tubuhnya hingga meleleh demi menerangi sekitarnya? Begitupun keikhlasan yang mendorong sepotong kayu membakar dirinya demi menghangatkan kedinginan di sekelilingnya. Dengan rasa kasih yang luas menyebabkan seseorang berlapang hati, memberikan miliknya untuk digunakan orang lain kendati akibatnya ia kehilangan kenyamanan.
bagaimana caranya 8untuk bisa ikhlas?
Tasauf mengajarkan semua bermula dan bermuara kepada telaga hati.
Membersihkan pekarangan hati bermula dari keinginan melakukan kontemplasi: apa makna kehadiran kita di bumi ini? Ditengah perjalanan hidup sejauh manakah kita memberikan manfaat bagi individu lain? maupun alam sekitar? adakah pertimbanagn lebih condong kepada kebatilan?
Mungkin kita bukan sosok yang gemar merenung, ketika Allah menyuruh hambanya untuk suka memikirkan, terutama yang berkaitan dengan kebesaran-Nya. maka, sebelum mencapai rumah ikhlas, sebaiknya kita terlebih dahulu ikhlas untuk melihat rumah kita, penyakit-penyakit hati kita: ego, tamak, dan merasa superior. maka akhirilah malam kita dengan kemauan menggeledah diri, untuk kemudian mengawali pagi dengan perbaikannya. Dengan demikian kita telah memulai pembersihan pekarangan hati.
Ketika pekaran hati mulai bersih, siramilah dengan dzikrullah. Dzikir menggiring kita untuk menghampiri-Nya, insya Allah kita pun dituntun untuk mengikuti sifat sifatnya. Bukankah Dia maha pengasih. Dengan menghampirinya kita akan dikasih dan diajari untuk mengasihi sesama, lingkungan bahkan alam lain. rasa kasih pasti bermuara pada keikhlasan terhadap sesama.
"Ya Tuhan, ajari aku untuk bisa ikhlas dalam mengabdi kepada-Mu, ikhlas dalam menyayangi sesama dan ikhlas terhadap apaun yang Kau berikan, karena itu adalah yang terbaik bagiku"

HAKEKAT TAQWA


Tiada bekal yang lebih baik dalam menuju Tuhan kecuali bekal taqwa. Taqwa memiliki posisi sentral dalam agama Islam. Banyak definisi mengenai taqwa, tetapi inti dari taqwa adalah 'ingat kepada Tuhan'. Dengan selalu ingat kepada-Nya, maka, kita akan selalu berusaha melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. kita akan terjaga dari perbuatan siasia dan mungkar serta berusaha berakhlaq dan berbudi pekerti luhur. dalam melakukan sesuatu bukan karena pengen dilihat oleh orang lain(riya') dan menjauhi kejelekan bukan karena takut dihukum. itulah esensi taqwa.
Dengan bertaqwa akan terbangun dalam diri kita (built in) pribadi ikhlas, jujur dan berakhlak luhur. taqwa adalah landasan hidup setiap muslim, selain itu adalah landasan yang tidak mengajak untuk taqwa. landasan non taqwa adalah ibarat pondasi rumah yang kita bangun di pinggir jurang yang terjal. apabila bibir jurang itu runtuh maka, rumah kita pun ikut runtuh. oleh sebab itu, sebaik baik bekal dalam hidup menuju Tuhan adalah bekal taqwa.

Senin, 21 April 2008

Malaikat Kecilku


Tak sengaja kutatap wajah Eriq, malaikat kecilku yang baru berumur 4 tahun. kagum kudibuatnya. sepasang bola mata yang bening, suci dan bersih. lama aku terdiam, berenang dalam talaga bening matanya yang indah.
Ya Allah. mata itu seakan menjewerku untuk ingat akan amanah yang dipercayakan Tuhan kepadaku. Amanah kehidupan yang masih lemah dan labil. mudah sakit dan ringkih. namun lucu dan membuatku selalu merindukannya.
wajahnya yang polos, senyumnya yang menyejukkan, tingkahnya yang sering membuatku terpingkal dan celotehnya yang riang bak bebek ditengah gerimis sore.
Semakin ku pandangi bola mata itu semakin aku terpojok dalam sudut-sudut kehidupan yang pernah kulalaui. jejak-jejakku berhamburan dimana-mana. ada yang masih baru dan banyak yang kusam dan kelabu. mata itu mengingatkan aku kepada jejak jejak yang tersia-sia.
ahhh... diujung umr yang semakin pendek, aku hanya seonggok tanah tak bermakna. apa yang telah kuberikan pada kehidupan kecil didepanku? apa manfaat yang kupersembahkan kepada sekitar? dan bening bola mata itu menjewreku untuk segera sadar akan amanah yang kuemban dan kulalaikan selama ini.
Terima kasih Tuhan. kau kirim malaikat kecil untuk mengingatkan aku kepada-Mu, amanah-Mu. Tuhan... kuingin memiliki hati sebening telaga dalam bola matanya. Thariq Irfan Rahman. Malaikat kecilku.

SEKUNTUM MAWAR



Adakah yang lebih indah dari sekuntum mawar merah merekah. Adakah yang lebih cantik melebihi sekuntum mawar yang merona. adakah yang lebih romantis melebih persembahan sekuntum mawar. Mawar adalah lambang cinta, kasih sayang dan harapan yang tak pernah pupus. Saat kau baca tulisan ini, adakah mawar yang juga merekah di hatimu.