Selasa, 13 Mei 2008

Dialog dengan Sang Iblis

Malam semakin tua dan reot, saat kudengar ketuk pintu, lamat dan perlahan. Dengan tanya kulangkahkan kaki menuju pintu, ahh siapa gerangan yang masih bertamu ditengah malam yang semakin renta.

“Selamat malam” salam sesosok tubuh di balik pintu. Kakinya pincang, dagu panjang dengan janggut yang jarang, kepala botak dan peang.

“Astaughfirloh” teriakku sambil memungut sandal yang kupakai. Akan kulempar makhluk terkutuk ini seperti Ibrahim melemparnya di jamarat dulu. Makhluk yang telah menyebabkan Bapak Adam terlempar ke bumi.

“Jangan! Aku mau tobat” teriaknya mengurungkan tanganku melempar sandal.

“Aku sudah bosan menggoda saudara-saudaramu” ujarnya gusar. “aku ingin tobat dan menjadi makhluk yang baik. Aku juga ingin merasakan nikmat surga dan wangi bidadari”

“Mengapa kau ingin tobat, bukankah kau sudah bersumpah menggoda manusia hingga kiamat” tanyaku heran. Malampun semakin ringkih dan renta ditingkah suara anjing dibatas desa.

“Selama ini aku nganggur, kerjaku hanya bermalas-malasan, tidur dan minum kopi. Saudara-saudaramu tanpa kugoda sudah pintar menggoda dirinya dan temannya untuk bermaksiat kepada Allah. Saudara-saudaramu telah merampas tugas dan sumpah yang kuteriakkan di depan Tuhan”

“Tak ada yang dapat kukerjakan selain bertopang dagu, tidur dan bermalas-malasan. Bosan hidup nganggur melulu. Kau saja suruh nunggu lima menit sudah nggak sabar, apalagi aku, harus nunggu sampai kiamat, bisa mati diam aku” ujar Iblis lirih.

Sesaat kutarik nafas lega, “Alhamdulillah, Iblis telah bertobat, berarti perjuanganku untuk meraih sorga sangat ringan, tiada goda, tiada rintang dan dosa. Aku pasti bisa masuk sorga” teriakku dalam hati girang.

Eit, ntar dulu. Apa arti kebaikan bila tidak ada kejelekan, masih pantaskah itu disebut kebaikan? Apa arti iman tanpa durhaka, dan apa arti syurga bila tidak ada neraka. Ahh, aku jadi ingat sayur asem masakan istri yang lupa nggak dikasih garam, kecut dan hambar, tiada lagi kesegaran, hilang sudah kenikmatan dan gairah makan.

“jangan, jangan kau bertobat iblis, apa kata dunia nanti”Sergahku pada iblis.

“Kenapa, emang aku nggak boleh bertobat, bukankah seharusnya kau senang, musuhmu sudah takluk dan kau tak ada rintanagn untuk meraih sorga” Tanya iblis heran.

“Karena dunia akan kehilangan keseimbangan. Coba bayangkan dunia yang tiada salah, tiada dosa dan tiada maksiat. Lalu apa arti tobat, maaf dan tangis penyesalan. Tidak akan ada keindahan kata maaf, hilang sudah kenikmatan tangis haru taubatan nasuha, dan tak ada artinya penyesalan diteriakkan” jawabku pelan, sepelan desir angin malam.

Padahal Allah lebih menyukai tangis sesal dan harap penghuni neraka daripada alunan MTQ, karena mereka menyebutnya dengan sepenuh jiwa.

“Urungkan saja niat tobatmu iblis, sebab dunia tanpa salah adalah gereja, ummat tanpa cela adalah malaikat dan manusia biarlah dengan dunianya, dunia dimana kebaikan dan keburukan berlomba dan menari. Jadi kumohon urungkan niatmu, kau hanya membuat dunia menjadi satu warna, hitam dan putih. Tidak ada harmoni, tidak ada gairah dan motivasi, karena semua sudah final dan pasti”

“Ngomong-ngomong ngapain dulu pake sumpah nyesatkan segala, ngapain kamu pake melawan Tuhan” tanyaku heran.

“Aku cemburu” jawab Iblis sendu. “ aku tak mau menduakan Dia. Hanya dia yang patut disembah, tidak ada tempat bagi Adam atau Muhammad bagiku. Hati ini hanya milik Dia” jawab iblis meninggi.

“Tapi yang nyuruh kan Tuhanmu. Aku saja marah kalo anakku tak mau saya suruh nginjak bahuku karena pegal, padahal itu tak sopan menurut mereka”

“Aku cemburu dan aku merasa terhina” gumannya semakin rendah.

“Tuhan itu tak hanya harus kita yakini keberadaannya, tapi juga harus kita yakini kebenarannya firman-Nya” tegasku.

“Aku harus pergi, ntar lagi subuh, besok kita jumpa lagi” pamit Iblis. Malam sudah mencapai ujungnya. Lamat-lamat tarkhim terdengar dari musholla di pojok kampung. “Semoga Iblis tidak jadi bertobat”

Tidak ada komentar: